Organisasi kemahasiswaan HMI Cabang Jember, mkembali diguncang oleh persoalan yang cukup serius, dengan tertangkapnya Agus fagian yang merupakan salah satu orang yang pernah masuk dalam lingkaran oraganisasi tersebut, ini jelas bukan promosi yang bagus buat HMI. Selama ini, HMI dikenal sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia, dan memiliki anggota dan alumnus yang tersebar luas. Sebagian alumnus menduduki posisi strategis di pemerintahan maupun sektor lain di negeri ini. HMI juga dikenal dengan konsep Keislaman dan Keindonesiaan yang tak lagi memperdebatkan nasionalitas dengan relijiusitas. HMI memahami Islam dalam konteks moderat.
Penelusuran reporter beritajatim.com menunjukkan, bahwa Agus memang memiliki rekam jejak radikal sejak mahasiswa. Artinya, proses radikalisasinya sudah berlangsung lama dan bukan instan. Sosoknya adalah sosok khas anak muda yang berada dalam pencarian identitas keislaman. Semula ia masuk HMI tahun 1998, namun kemudian memilih pindah ke Negara Karunia Allah, karena merasa tak sesuai dengan nilai-nilai ideologi Islam dalam organisasi mahasiswa yang berdiri 5 Februari 1947 itu.
NKA memiliki konsep dasar seperti Negara Islam Indonesia (NII), yang sama-sama ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Ini NII dengan nama yang lain. Salah satu mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menduga, tahun 1998 memang tengah tumbuh organisasi serupa NII di kampus. "Pacar saya yang sekarang jadi istri saya sempat ditawari masuk organisasi itu. Namun ia menolak," katanya.
Sesungguhnya, tertangkapnya Agus ini bukan hanya sinyal kuning bagi HMI, namun juga bagi dunia kampus, khususnya organisasi kemahasiswaan: rambahan jaringan teroris dan atau Islam radikal yang berorientasi kekerasan sudah cukup kuat. Mereka mulai merekrut aktivis mahasiswa, karena tipe aktivis memiliki kelebihan dibanding mahasiswa biasa dalam daya tahan gerakan. Aktivis mahasiswa juga lebih cocok dikader menjadi ideolog.
Organisasi kemahasiswaan, intra dan ekstra universitas, saatnya mulai membentengi diri. Tantangan yang dihadapi organisasi kemahasiswaan (ormawa) saat ini lebih keras dibandingkan saat rezim Orde Baru berkuasa. Kala rezim Orba berkuasa, ormawa berada di tengah situasi Indonesia yang sedang tumbuh secara ekonomi. Mereka hanya berhadapan dengan rezim yang diktator, yang justru membuat organisasi solid. Para aktivis terus-menerus belajar dalam keterbatasan informasi, karena buku dan media massa dibatasi. Dibutuhkan nyali untuk menjadi aktivis mahasiswa kala itu.
Hari ini, rezim yang menindas itu sudah tidak ada lagi. Angin kebebasan berembus, dan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih demokratis. Namun tekanan yang dihadapi organisasi mahasiswa bukannya lebih ringan. Kurikulum perkuliahan memberikan tekanan mahasiswa agar cepat lulus. Pola pikir mahasiswa semakin pragmatis: belajar, bercinta, lulus, bekerja, kawin, beranak-pinak.
Modernitas membawa sekian kemudahan dan gaya hidup hedon dalam dunia mahasiswa. Usai kuliah, mahasiswa lebih senang berbelanja atau bersenang-senang. Organisasi mahasiswa semakin tak menarik dan berangsur-angsur ditinggalkan, kecuali jika organisasi itu mengakomodasi unsur 'leisure time' bagi mahasiswa. Mahasiswa menjadi 'leisure class' (meminjam istilah dari Thorstein Veblen, ekonom dan pakar sosial Amerika Serikat).
Di satu sisi, mahasiswa yang sudah terlanjur mau menjadi aktivis, harus berusaha keras untuk bertahan dan memutar roda organisasi sekuat mungkin. Bagi aktivis organisasi mahasiswa ekstra universitas itu bukan soal mudah, dan benar-benar bergantung pada keikhlasan hati: mereka tak dibayar dan terkadang harus mengeluarkan biaya sendiri.
Hedonisme bukan satu-satunya ancaman bagi para aktivis ormawa. Hadirnya organisasi atau kelompok berideologi keagamaan yang lebih radikal atau literal dalam praktik kesalehan membawa ancaman. Kelompok ini merekrut kader-kader dari organisasi kemahasiswaan, dan boleh jadi tampak lebih menarik bagi bagi mahasiswa yang tengah mencari identitas diri dan keimanan. Organisasi atau kelompok berideologi keagamaan yang literal dan radikal ini, kadang lebih mampu memberikan tawaran tentang pengetahuan agama dibandingkan ormawa yang juga berbasis agama.
Jamal pernah bercerita kepada saya, bahwa ada salah satu kelompok literal yang sering membangun komunikasi dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan berbasis Islam. "Mereka mengajak diskusi dan berdebat, serta mengajak kami untuk ikut dalam pemikiran tafsir Islam ala mereka. Mereka menyebut organisasi mahasiswa Islam seperti HMI turut andil dalam kekeliruan memahami Islam," katanya.
Jamal berani berdebat dan beradu argumentasi dengan mereka. Namun seberapa banyak mahasiswa seperti Jamal, yang berani bersikap kritis? Saya tak berani memastikan. Namun seorang Jamal tidak muncul dari ruang hampa. Organisasi mahasiswa harus tetap ada dan bertahan. Setidaknya untuk menumbuhkan kesadaran bagaimana seorang mahasiswa seharusnya bersikap dan tak mudah tergoda, terhadap hedonisme maupun radikalisme.
Dalam konteks ini, para alumnus dan pemegang otoritas di kampus bisa berperan dengan memberikan insentif kepada mahasiswa, agar mau bergiat di sebuah ormawa. Saatnya, pemangku kepentingan di dunia pendidikan sadar, bahwa ormawa tak boleh dibiarkan begitu saja bertarung sendirian menghadapi perubahan zaman.
0 Komentar