Subscribe Us

header ads

MELEDAKNYA KASUS SARA DI MYANMAR


Departemen luar negeri Hillary Clinton menyatakan bahwa kebebasan beragama sedang terancam, dalam laporan tahunan,  Hillary menyebutkan “China menjadi salah satu sorotan yang sangat tajam, beberapa Negara lain di asia juga mendapat sorotan termasuk, Pakistan, Afganistan, Korea Utara, Myanmar, dan Indonesia”. Dalam laporan kebebasan beragama Internasional tahun 2011, justru undang-undang yang dibuat hanya untuk membatasi rakyatnya untuk mengekspresikan keyakinannya. UU yang dipakai adalah terkait penistaan agama (blaphemy), yaitu undang-undang yang diteraokan untuk membatasi kebebasan beragama, dan menekan kelompok minoritas, dengan membatasi kebebasan erekspresi. Dalam laporan tersebut China, Korea Utara, dan Myanmar masuk dalam peringkat delapan Negara yang gagal menerima konsep dan hak beragama (Kompas, Rabu, 01 August 2012)

Di China kasus kekerasan hak beragama, terjadi pada pemeluk  Bhuda Tibet, serta warga muslim di kawasan Xinjiang di bagian barat China, sementara di Indonesia juga menjado sorotan yang tajam terkait dengan kekerasan atas nama agama, yang terjadi pada kelompok minoritas Ahmadiyah. Kasus yang terjadi tersebut, di China misalnya, acapkali terjadi pemberontakan atas nama agama dengan cara membakar diri, sebagai bentuk protes. Kasus SARA yang terjadi dibeberapa Negara itu, dalam perspektif humanity, telah mengoyak-ngoyak peradaban global, dan telah menginjak-nginjak perdamaian dunia yang semestinya dirajut. Hal tersebut, konsteknya adalah ambisi kekuasaan dan kepentingan, yang kemudian menjadi topeng, atau isu yang diangkat adalah tentang pemberontakan kaum etnis minoritas muslim Rohingya, di Myanmar.

Myanmar dalam pernyataannya, tidak mengakui terhadap keberdaan kaum muslim mnoritas Rohingya, sebagai warga negara Myanmar, disamping itu pula Myanmar juga membatasi terhadap gerakan kaum Rohingya, antara lain hak mereka untuk menikah. Oleh utusan dari PBB Tomas Ojea Quintana memulai peneyelidikan atas kerusuhan sektarian yang menewaskan 78 orang itu.

Kendat demikian, kasus yang dipoles atas nama kekerasan agama, sesungguhnya hal yang paling esensial untuk kita cermati, bahwa kasus pertikaian Rakhine, atau sebutan lain adalah Arakan, dengan kelompok muslim minoritas Rohingya, dengan dipoles kekerasan atas nama agama, yang kemudian di isukan menjadi isu Sara yang menginternasional, perlu dicermati hati-hati. Kekerasan tersebut, pada kenyataannya adalah kekerasan kemanusiaan antara kelompok mayoritas (Rakhine) yang didukung oleh pemerintah Myanmar.

Dalam laporan Human Rights Watch (HRW), dengan tebal 56 halamanmengenai kondisi di Rakhine yang disusun berdasarkan 57 wawancara anatara warga Rakhine dan Rohingya. Bahwa terjadinya letupan-letupan konflik tersebut sudah terjadi pada tahun 1940-an hingga sekarang, namun anehnya aparat keamanan Myanmar juga dilaporkan telah membiarkan terjadinya kekerasan yang dilakukan kelompok Rakhine terhadap kelompok muslim minoritas Rohingya. Menurut Brad Adams, (Direktur Asia HRW), militer Myanmar malah gagal melindungi pertikaian warganya, dan justru milter Myanmar justru menembaki kaum Rohingya, hal tersebut menurut Brad Adams, tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Myanmar yang berkomitmen “ bahwa pemerintah akan mengakhiri konflik bernuansa sectarian tersebut”, padahal kenyataannya berbagai bentuk aksi kekerasan dan pertikaian terhadap etnis masih terus terjadi hingga sekarang. (Kompas, Kamis 02 August 2012).

Kasus kekerasan anatara Rakhine dan etnis mnoritas Rohingya, menurut menlu Myanmar Wanna Maung Lwin, menyatakan “ bahwa kekerasan kekerasan Rakhine bukan dilandasi masalah agama, menurut dia berbagai upaya pihak luar untuk mengarahkan isu itu menjadi isu sentral tentang agama, memang sengaja mencoba untuk “memolitisasi” dan “menginternasionalisasi” masalah yang terjadi. Statemen yang dipaparkan oleh menlu Myanmar tersebut kemudian dijadikan bentuk alas an pembelaan terhadap Negara tersebut.
Pada tahun 2012 inilah, meledaknya kasus kekerasan Rakhine dan Rohingya, meledak atas nama kekerasan agama, dengan bentuk intervensi pemerintah terhadap warganya yang minoritas. Kasus kekerasan yang masih tarik ulur ini perlu dicermati secara seksama dan bilihat dari beberapa perspektif, pertama pertikaian antara kelompok mayoritas (Rakhine), atau disebut Arakan, yang kemudian bertikai dengan kelompok etnis Muslim Rohingya, sebagai kelompok minoritas di Myanmar. Kedua bentuk intervensi militer (Pemerintah) Myanmar, yang memang tidak mengakui terhadap keeradaan kaum muslim Rohingya, sebagai warga negaranya. Ketiga bisa dilihat dari aspek sejarah, bahwa kelompok Rohingya denga Rakhine, memang dua kelompok mayoritas dan kelompok minoritas yang kurang akur hidup berdampingan, dan yang keempat pertikaian tersebut merupakan bentuk persoalan kemanusiaan yang perlu untuk dibela oleh PBB, karena hal tersebut menyangkut jiwa manusia. Oleh sebab itu perlunya solidaritas dari Negara-negara yang memiliki hati nurani atas tragedi Rohingya, dengan mengatasnamakan kemanusiaan.

PERAN INDONESIA TERHADAP KAUM MUSLIM ROHINGYA

Indonesia sebagai Negara yang  berpenduduk muslim cukup besar, siap membantu menampung kaum etnis Rohingya yang teraniaya, atas nama kemanusiaan. Kasus kekerasan yag terjadi pada kelompok ernis Rohingya amatlah komplek keberadaannya. Terjadinya kasus tersebut menuai kontraproduktif, antara yang membela dan yang mendukung terhadap tidakan represif penguasa Myanmar. Terjadinya kekerasan yang tercatat sudah lebih dari 100 jiwa warga Rohingya yang tewas, sekaligus terjadi pengusiran karena dianggap etnis minoritas Rohingya, bukanlah penduduk asli Myanmar, menjadi persoalan yang pelik. Pada satu sisi unsur agamanya cukup kental antara kelompok etnis Rakhine yang mayoritas beragama Budha, dengan Rohingya sebagai kelompok muslim yang minoritas, sementara unsure yang lain, tragedi kekerasan itu adalah kasus kemanusiaan yang perlu untuk dilindungi, sehingga Pejabat Hak Asasi Manusia PBB, Tomas Ojea Quintana, turun langsung kelokasi pertikain dua kelompok etnis yang bertikai di Rakhine, Myanmar. 

Indonesia masih terus melakukan upaya-upaya untuk memberikan bantuan terhadap kelompok Rohingya yang terusir dari negaranya. Pemenrintah Indonesia (SBY), menyatakan “ prihatin atas kasus pengusiran dan diskriminasi atas pengusiran kaum muslim Rohingya. Pemerintah tidak hanya sekedar prihatin, tetapi telah, sedang, dan terus melakukan upaya lain, berkaitan dengan isu kemanusiaan atas etnis Rohingya”. Statemen pemerintah Indonesia atas kasus tersebut siap membantu penyelesaian konflik komunal dan pengungsian etnis Rohingya di Myanmar. Indonesia berharap konflik bisa ditangani serta diselesaikan secara bijak, adil, tepat, dan tuntas. Pengusiran etnis Rohingya terkait masalah kemanusian itu, sudah menampung 124 pengungsi Rohingya di Indonesia. Disisi yang lain, Rohaniawan, sekaligus Ilmuan Khatolik Franz Magnis Suseno mendesak pemerintah Indonesia bersikap tegas dan menghimbau Myanmar atas kebijakaannya terhadap etnis Rohingya yang bisa memecah belah persatuan ASEAN.

Sementara itu Ketua Komnas HAM  Ifdhal Kasim, dalam diskusinya menilai bahwa kasus kekerasan terhadap kelompok mkinoritas Rohingya merupakan kasus kemanusiaan yang paling fundamental dan sangat serius. Kasus kekerasan di Rohingya itu, meski ada unsure keagamaannya, akan tetapi perlu dilihat, bahwa kasus tersebut esensinya adalah kasus kemanusiaan yang terjadi,k, dengan demikian kasus tersebut harus dilihat dalam perspektif kemanusiaanya, sehingga atas nama kemanusiaan semaunya bisa terlibat dan merasa prihatin. Tandas ketua PBNU Masdar Farid Masudi. (Kompas, Minggu 05 August 2012) 

Keprihatinan atas terjadinya kasus kekerasan Rohingya, tentus saja menyulut reaksi yang cukup keras dari berbagai belahan pemerintah di ASEAN, hal ini bisa kemudian kita cermati, tehadap kecaman-kecaman terhadap pemerintah Myanmar, yang telah melakukan kekerasan, penangkapan dan pengusiran terhadap kelompok minoritas Rohingya. Oleh karena itu bentuk kekerasan yang terjadi di Myanmar harus secepatnya dan segera mungkin untuk diselesaikan. Dengan demikian sangat penting adanya untuk membangun  solidaritas dari berbagai elemen Negara dengan mengatasnamankan kemanusiaan untuk segera menyelesaikan konflik dan kekejaman terhadap Rohingya, untuk diselesaikan secara lugas, tegas, adil, dan mengembalikan hak-hak dari kaum minoritas Rohingya. Faisal




Posting Komentar

0 Komentar