Subscribe Us

header ads

“Manusia dan Nilai-Nilai keTuhanan” (Membaca struktur keTuhanan terhadap fenomenologis kemanusiaan dalam Bingkai Bahasa Al-Qur’an)



Manusia sebagai mandataris Tuhan atau wakil Tuhan dimuka bumi, di pasrahi amanah untuk memimpin, mengelola, dan menjadikan kehidupan ini beradap, bukan justru sebakliknya (menjadikan kehidupan yang semakin biadab), peran strategis yang diberikan Tuhan pada manusia adalah suatu amanah yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan potensi akal, hati, dan emosi, sehingga mampu melihat dan membedakan apa yang menjdi kehendak dan keinginan kita selaras dengan kehendak dan keinginan Tuhan. Bagaimana untuk mengetahui hal tersebut?. Allah menjelaskan dalam firmannya Surat al-Alaq yang arti bebasnya adalah “ Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu” (Q. S. Al-Alaq: 1). Perlu sekiranya kita menafsirkan kembali, apa sebenarnya yang harus dibaca?

 Manusia dengan tiga potensi sebagai fitroh yang diberikan Tuhan dalam menjalankan rotasi kehidupan ini, tidak lepas untuk terus mempelajari semua apa yang ada di alam semesta ini, tak terkecuali membaca keinginan Tuhan sangat penting adanya, kalau dikaitkan dengan dunia pendidikan adalah “long life education” yaitu pendidikan seumur hidup, dimana manusia senantiasa harus dan wajib hukumnya untuk terus belajar, dalam rangka menjadikan pribadi yang utuh (insan kamil), tentu hal ini membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dilalui, maka kemudian lahirlah teori nativisme, empirisme, dan konvergensi, dalam istilah dunia pendidikan. Bahwasanya manusia terlahir seperti kertas putih, dan orang-orang sekitrnyalah yang akan menjadikan dia yahudi, nasrani, ataupun Islam.

Dengan demikian bagaimana sebenarnya manusia melakukan ikhtiar (pilihan-pilihan) yang terbaik bagi kehidupannya, dan tidak lupa pada apa yang menjadi garis ketentuan Tuhan. Maka hal ini akan mengacu pada ikhtiar Manusia dan Nilai-Nilai keTuhanan”(Membaca struktur keTuhanan terhadap fenomena kemanusiaan dalam Bingkai Bahasa Al-Qur’an)

Interpretasi terhadap Al-Qur’an, tidak semata-mata menafsirkan secara membabi buta, akan tetapi ada banyak aspek dan perspektif untuk menggali makna al-Qur’an dalam fenomena dan realitas sosial.

1.    Manusia Sebagai Kholifah Fil Ard

            Manusia sangatlah unik dan sempurna keberadaanya dalam kehidupan di alam semesta ini, dalam konsep ajaran Islam ada beberapa hal yang di sebut-sebut dalam Al-Qur’an dengan sebutan yang berbeda, mulai dari an-nas, al-basyar, al-insan, bani adam, abd. Allah, kholifatullah, dan lain sebagainya.

              Pengertian yang cukup mendasar yang telah di paparkan di atas, mempunyai makna, dan fungsi yang berbeda-beda, mulai dari konsep dan pengertian Al-basyar di pandang sebagai pendekatan biologis, atau sebagai makhluk biologis yang terdiri dari unsur-unsur materi yang menampilkan sosok dalam bentuk fisik. An-Nas umumnya didekatkan pada konsep bahwa fungsi manusia sebagai makhluk sosial sebagai makhluk yang bermasyarakat. Sedangkan konsep Al-insan yaitu sebagai mahkluk yang pelupa yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang, bani Adam yang berarti keturunan yang menjadi ummat manusia, dan yang terakhir adalah konsep kholifah fil ard yang berarti manusia dijadikan sebagai kholifah fil ard.[1]
 
               Struktur manusia yang mempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda, sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk biologis, dan makhluk yang dikaruniai potensi akal dalam dirinya, tentu mempunyai persoalan yang cukup kompleks. Hal ini menjadikan seorang manusia sebagai kolifah fil ard mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan kehidupan aman, tentram, serta menjadikan kehidupan yang adil dan makmur, dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

              Pada hakekatnya setiap manusia mempunyai kekuatan dalam pribadinya untuk menjadi seorang kholifah, akan tetapi porsi dan kapasitasnya berbeda-beda, sehingga dalam proses selanjutnya ada yang memimpin dan ada yang terpimpin, diakui ataupun tidak hal ini adalah suatu fitroh dan karunia dari Tuhan semesta alam bahwa peran Tuhan dalam juga ada kaitannya dalam proses mejadikan seorang manusia sebagai seorang pemimpin, seperti yang disabdakan oeh nabi Muhammad Saw yang artinya: setiap orang dari kamu adalah pemimpin dan kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu. (H.R. Tirmizi, Abu Dawud, Shahih Bukhori dan Shahih Muslim).

              Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keihklasan kemanusiaan. Tapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk pada kebenaran, karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.[2]

                Hubungan antara manusia dengan Tuhan adalah hubungan vertikal yang spritual, dalam artian hubungan abstrak yang hanya mampu untuk dirasakan, oleh karenanya hubungan timbal balik ini mempunyai kosekuensi logis terhadap peran manusia, dimana manusia dituntut ada keseimbangan antara dunia realitas yang kongkrit dengan dunia metafisik yang abstrak. Jadi manusia sebagai kholifah fil ard diharuskan dan diwajibkan mempunyai konsep dan strategi yang mapan dan hanya bertujuan semata-mata mencari Ridho Alah SWT.

2.    Interpretasi Untuk Aksi ( Bentuk Implementasi Ajaran Islam Bagi Kehidupan Manusia)

                 Dalam Al-Qur’an Surat LuQman, Ayat 30 yan artinya: “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil , dan Dialah yang maha tinggi lagi maha besar” (Q.S. LuQman: 30)  

                  Dalam surat Al-Maidah, ayat 19, yang arti bebasnya adalah, bahwa Sesungguhnya Agama Di Sisi Allah Adalah Islam. Islam dari akar katanya selamat, atau agama yang menyelamatkan terhadap manusia, akan tetapi ada banyak interpretasi yang dmunculkan oleh para tokoh, misalkan dengan menyatakan “Tiada tuhan Selain Tuhan” sehingga memunculkan responsif yang kontroversial yang cukup tinggi dikaangan ummat muslim. Oleh karena itu ummat muslim khusunya di Indonesia masih cukup lemah untuk menerima perbedaan, sehingga dampak yang terjadi acapkali adalah persoalan perbedaan keyakinan sering menjadi momok yang menakutkan antar umat beragama.

             Persoalan keyakinan sebenarnya adalah persoalan yang sifatnya privasi dan sangat individu, “Iman” berbicara tentang suatu kepercayaan yang melekat pada tiap-tiap individu, namun setiap manusia pada dasarnya adalah makhluk  percaya, akan tetapi kepercayan tersebut akan dinisbatkan kemana? Hal ini tentu memerlukan pemecahan yang komprehensif dengan melihat perkembangan zaman. Banyak para tokoh dan para mufassirin telah melakukan berbagai interpretasi mengenai ajaran dari masing-masing agama, namun pada akhirnya kembali pada kepercayaan dan keyakinan masing-masing dari setiap agama.

              Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik) mereka itulah orng-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk (Q.S. Al-An’am: 82). Orang-orang yang beriman adalah manusia yang sepenuhnya percaya dan yakin dengan keberadaan sesuatu yang diimani yaitu Allah Swt, dimana keimanan tersebut menjadikan Allah  sebagai satu-satunya Dzat yang maha perkasa, maha tahu, maha bijaksana, dan tidak berusaha mencampuradukkan dengan sesuatu yang sifatnya baharu, artinya sesuatu yang tercipta atau di ciptakan oleh Allah Swt, menjadi nomer kesekian diatassesuatu yang diimani, dan tidak mempersekutukan Tuhan dengan segala sesuatu yang dicitkan, sesuai dengan Firman Allah Swt yang disinyair dalam surat LuQman, ayat 13 yang berbunyi: sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar  (Q.S. Luqman: 13).

                Kuasa Tuhan dalam bahasa Al-qur’an sesungguhnya masih sangat global dan membutuhkan terhadap penafsiran guna memahami ajaran-ajaran Islam yang tertuang dalam bahasa estetik-Nya. Disadari ataupun tidak masih terlalu banyak ummat muslim yang masih tidak sepenuhnya memahami dan mengenal ajaran Islam yang sesungguhnya, disebabkan multiinterpretasi para tokoh yang sangat beragam. Contoh yang cukup sederhana tentang perintah sholat yang masih cukup general, walaupun dalam bentuk implementasinya dicontohkan oleh nabi Muhammad Saw.

                Seperti apa sebenarnya kemurnian ajaran Islam yang sesungguhnya? Pada proses selanjutnya pada perkembangan zaman ini, banyak bermunculan ajaran-ajaran yang justru membuat masyarakat dalam kerangka kebingungan untuk memahami ajaran Islam itu sendiri, karena tumbuh dan berkembangnya ajaran Islam terutama di Negara Indonesia yang dinotabene pemeluk Islam besar dibelahan muka bumi ini, yang mau tidak mau terus bersinggungan dan bersentuhan dengan aspek budaya, yang menyebabkan akulturasi. Sehingga dampak yag kemudian kita terima bahwa kemurnian ajaran Islam perlu kembali dipertanyakan seiring waktu dan kondisi zaman yang terus berputar.

               Fenomena yang terjadi pada belahan dunia ini sungguh sangat ironis sekali, dimana gerakan-gerakan intelektual yang kemudian menjadi sebuah ideologi telah memberikan implikasi yang cukup signifikan terhadap perkembangan Islam dewasa ini, dan acapkali yang menjadi sasaran adalah kaum muda sebagai salah satu tonggak pembangunan bangsa, sebab ditangan pemuda hari ini, maju dan mundurnya suatu negeri.

                Sesungguhnya Nabi dan Rosul diutus kemuka bumi ini hanya untuk menyampaikan risalah dari Allah Swt, kepada ummat manusia, dan tentu saja dalam konstek perkaderan bahwasanya manusia haruslah selalu mengabdi pada nilai-nilai ketuhanan secara vertikal dan nilai-nilai kemanusiaan secara horisontal, hal tersebut sudah tercakup dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan sebagai landasan Ideologis dan spirit perjuangan bagi kader umat dan kader bangsa ini, seperti yang disinyalir dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 64 yang artinya: katakanlah: hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebgai Ilah keculai Allah. Jika mereka berpaling katakanlah kepada mereka: saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Q. S. Ali Imron: 64)

               Sebagai ummat muslim kita semua dituntut untuk meng Esa kan Allah Swt, sebagai satu-satunya Dzat diatas segala-galnya, dzat yang abadi, dzat yang maha mengetahui, maka tidak sepantasnyalah kita menyekutukan atau menyamaratakan yang maha kuasa dengan makhluk yang sifatnya baharu, dan apabila hal tersebut itu terjadi, itulah yang dinamakan kemusyrikan, walaupun tidak bisa kemudian kita pungkiri bahwa setiap individu manusia mempunyhai cara untuk menemukan dirinya dan Tuhannya.


3.    Menjadikan Tuhan (Allah) Sebagai Puncak Kebenaran Absolute

                 Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lainnya, tentu di dalam Islam telah diwajibkan untk mencari ilmu pengetahuan serta menggali potensi yang ada dalam diri kita, dimana perkembangan dewasa ini yang cukup ramai mencuat kepermukaan dengan hadirnya pengetahuan yang harus digali pada diri manusia, yaitu Intelektual Quotient (IQ) atau sering disebut dengan kecerdasan intelektual atau akademisi, dengan pertanyaan apa yang sedang dan selalu dipikirkan? kedua adalah Emotional Quotient (EQ) atau biasa disebut dengan kecerdasan emosi dengan pertanyan apa yang selalu dirasakan? dan yang ketiga adalah Spritual Quotiet atau di sebut dengan kecerdasan Spritual (SQ) dengan pertanyaan siapakah aku? Tiga kemampuan tersebut di atas, harus berjalan seiring dan seimbang, barangkali dengan jalan tersebut manusia akan menemukan atau menuai makna hidup yang sesunguhnya.

                   Sesungguhnya ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang seringkali menghinggapi alam pikiran kita, tentang Tuhan, Alam semesta, Hewan, Tumbuhan, Langit yang tak bertiang, Bintang-bintang, Bumi dengan segala bentuk isinya, inilah yang sesungguhnya mulai zaman terdahulu seringkali menjadi kerangka berpikir para filosof mulai zaman kuno sampai pada zaman modern, dan tentu hal itu manusia membutuhkan tahapan-tahapan yang harus dilalui sehingga manusia tersebut akan menemukan dirinya sendiri dengan penciptanya.

                  Proses pencarian itu dialami oleh nabi Ibrohim atau Abraham. Ia mencari dibalik bintang, bulan, dan matahari, Ibrahim terus bertanya dan mencari, sehingga pada akhirnya Ibrahim menemukan apa yang di carinya yaitu Tuhan semesta Alam. Seperti yang dikisahkan oleh Allah dalam firmannya Suat Al-An’am yang berbunyi: dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrohim tanda-tanda keagungan (kami mendapat) dilangit dan bumi (dan kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang, lalu dia berkata: “inilah Tuhanku”. Tetapi takala bintang itu tengelam dia berkata:”saya tidak suka kepada yang tenggelam.”kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata:”inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “sesungguhnya jika Tuhan tidak memberika petunjuk kepadaku, pastilah ak termasuk orang yang sesat. Tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:”.inilah tuhanku”, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata:” hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Robb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. Al An’am: 75-79).

                  Pencarian juga telah dilakukan oleh Musa atau Moses. Musa menaiki gunung sinai, dan mencari keyakinan akan Tuhan. Musa berkata, “Tuhanku Tunjukkan kepadaku, agar aku bisa melihatmu.” Kemudian Tuhan menjawab, Musa” kau takkan Bisa Melihat-Ku. Tapi lihatlah gunung itu, apabila ia tetap tegak berdiri, maka kau akan melahat-Ku, Musa”. Kemudian tatkala Tuhan memperlihatkan diri-Nya dihadapan gunung itu hancur terbecah belah. Musa tersungkur dan jatuh pingsan. Ketika Musa sadar, ia berkata, “ maha suci Engkau, kami bertaubat kepada-Mu, dan aku menjadi orang pertama beriman.” Musa pun mendapatkan keyakinan akan eksistensi Tuhan dan makna kehidupan.[3] Lalu pencarian juga dialami oleh nabi Muhammad Saw. Beliau gelisah melihat keadaan kaumnya saat itu hingga selama bertahun-tahun Nabi Muhammad naik turun Gua hira’ untuk mencari jawaban akan makna kehidupan.

               Inilah makna kehidupan sesungguhnya, kita sebagai ummat manusia diperintahkan untuk mencari dan menyadari siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Iniah makna kehidupan. “bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakanmu dari segumpal darah. Baca dengan nama Tuhan-Mu yang maha pemurah, yang mengajarimu dengan perantaraan kalam, yang mengajarimu apa yang kamu tidak tahu. (Q.S. Al-Alaq: 1-5). 

                Konsep Tuhan dalam tradisi intelektual Islam tidak begitu. Konsep itu telah sempurna sejak selesainya tanzil. Bagi seorang puralis yang  jelas ini adalah supremasi claim. Tapi faktanya kalam dan falsafah tidak pernah lepas dari Tuhan. Mutakallim dan filosof juga tidak mencari Tuhan baru, tapi sekedar menjelaskan. Penjelasan Al-Qur’an dan Al-Hadist cukup untuk membangun peradapan. Ketika Islam berhadapan dengan dua peradapan saat itu, konsep Tuhan, dan teks Al-Qur’an tidak bermasalah. Hermenetika allegoris Plato maupun literal Aristotle pun tidak diperlukan. Hujatan terhadap teks dan pelucutan otoritas teolog juga tidak terjadi. Malah kekuatan konsep-konsepnya secara sistemik membentuk suatu pandangan hidup (WordView). Islam tidak ditinggalkan oleh peradapan yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi peradapan yang tangguh. Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang telah membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Peradapan Islam dibangun dengan gaya-gaya barat menghujat Tuhan itu berarti mencampurdukkan antara yang hak dengan yang batil.[4] berTuhan tanpa beragama itu wajar dan beragama tanpa berTuhan itu namanya kurang ajar. Islam mengajarkan kepada para pemeluknya untuk selalu tunduk dan patuh terhadap semua ajaran yang datang dari Tuhan, islam telah mengajarkan perdamaian, ketentraman, dan berakhlaqul karimah, karena nabi sendiri diutus kemka bumi ini hanya semata-mata untuk menyempurnakan akhlaq.  

               Dalam hal ini arti kehadiran pendidikan ditengah masyarakat sangat memungkinkan untuk membina generasi penerus bangsa. Yaitu membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia, tanpa kehilangan pribadinya masing-masing. Usaha semacam itu masih harus terus dilanjutkan oleh individu itu sendiri, bila tiada lagi waktu untuk mendapatkannya sesuatu diperguruan. Sebab secara kodrat ia akan dibebani untuk membina pribadi anak-anaknya. Sebagai manusia yang bertanggungjawab atas kemaslaatan bersama ia harus mampu menuntut dapat lebih dahulu membina diri sendiri, mendidik diri sendiri, membina diri pribadi diri, sehingga tingkah laku, perbuatan maupun ucapannya dapat dipergunakan sebagai isi bagi si anak, yang juga sudah mulai berusaha membina dirinya, dengan kemampuannya untuk meniru.[5]
 
               Dalam kaitannya ini secara personal kita bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri, bagaimana seharusnya kita memimpin diri sendiri sebelum kita memimpin orang lain. Tipologi Rosulullah sebagai seorang pemimpin dunia sangatlah patut untuk dijadikan contoh bagi kita sebagai seorang muslim, dimana nabi Muhammad telah memberikan contoh-contoh atau cara-cara untuk memimpin dalam kerangka menjadikan umat manusia beradap, tentu hal tersebut tidak menafikan kemampuan yang dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia, dimana kemampuan tersebut haruslah selaras dan seimbang guna membangun tata kehidupan yang lebih maju dengan berpedoman pada al-qur’an dan al-hadist. Seperti yang dinyatakan dalam koidah fighiyah yang artinya: memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Dalam artian bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai mahkluk yang beriman tentu harus dikerangkai dengan landasan yang mampu memadukan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spritual.

                   Dinamisasi dalam pergolakan Islam terus mencuat kepermukaan, hal ini harmonisasinya dengan historis Islam khusunya yang berkembang dalam konstek keIndonesiaan, maka ketika agama khususnya Islam ketika dikaitkan dengan Negara tidak akan pernah terlepas pada aspek politik yang berkembang di Indonesia, dan seyogianya harus ada pemetaan antara politik dan system kepercayaan yang di bangun, artinya dua hal ini tidak bisa kemudian di campur adukkan, sebab pada satu sisi antara agama dan nilai politis tersebut tidak mungkin untuk dipadukan, walupun pada aspek yang lain hal tersebut mempunyai keterkaitan. Oleh karena Tuhan (Allah) adalah satu-satunya yang harus disembah dan tunduk kepada-Nya, dan itu mempunyai konsekuensi logis terhadap bentuk keyakinan dan kepercayaan ummat muslim khususnya.

                Dengan demikian sistem kepercayaan yang di bangun atas perpaduan kemampuan akal, emosi, dan spritual adalah sebuah puncak akan kebenaran Ilahiah dengan data dan bukti autentik tentang keberadaan Tuhan yang maha Esa, alam semesta (kosmos), serta jutaan bahkan milyaran makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan, semata-mata diperuntukkan dan disuruh untuk mengelola kehidupan yang lebih baik

            Manusia adalah makhluk yang mempunyai struktur yang kompleks ketimbang dengan makhluk lainnya, karena secara kodrati, manusia telah dikarunia akal untuk berpikir, emosi untuk merasakan sesuatu yang ada disekelilingnya, dan hati untuk mengetahui dan merasakan keberadaan Tuhan sang pencipta alam semesta ini.

            Secara fitroh manusia adalah seorang pemimpin, dalam lingkup mikro dan secara individu manusia harus mampu memimpin dirinya sendiri, akan tetapi pada sisi yang lain manusia juga makhluk sosial yang membeuthkan terhadap adanya orang lain disekitarnya, sehingga dalam konsep kepemimpinan manusia harus mampu memimpin orang lain, membimbing atau mengarahkan pada jalan yang baik, karena manusialah yang mampu membedakan mana yang batil da mana yang hak, yang buruk dan baik, yang indah dan yang jelek. 

            Sebagai orang muslim yang tunduk akan Islam sebagai satu-satunya agama yang mampu menyelamatkan terhadap pemeluknya dengan perpedoman pada dua pusaka peninggalan nabi Muhammad Saw, tentu hal ini tidak lepas dari kajian dan interpretasi terhadap keberadan dua pusaka tersebut, sebab kemurnian ajaran islam yang cenderung sakral, kini seakan-akan sudah tidak mempunyai pamor lagi, hal ini diakibatkan adanya akulturasi pada dunia islam yang terus bersinggungan dengan budaya dan agama-agama lain.

            Hasil dari pada interpretasi dan ijtihad ulama inilah yang kemudian diikuti oleh banyak masyarakat, terutama di Indonesia yang berpenduduk pemeluk terbanyak dinegeri ini, namun dengan dta-data empirik, serta interpretasi Al-Qur’an yang masih sangat relevan dengan kondisi zaman, tidak diragukan lagi bahwa puncak kebenaran yang absolute dan abadi adalah Tuha (Allah), sebagai tempat bergantung semua makhluk yang ada dimuka bumi ini.



[1] Jalaluddin, teologi pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002. Hal 19-32
[2] Pengurus Besar. Nilai-Nilai Dasar PerJuangan Himpunan Mahasiswa Islam, 2009. Hal  44
[3] Ary Ginanjar Agustian, Emotional, Spritual Quotient, The ESQ Way 165, Jakarta, Arga Publising, 2001, hal. VIII
[4] Hamidi Fahmi, Tuhan, Jurnal pemikiran dan peradapan (Islamia) 2005, Hal 120.
[5] Agus Sujanto Dkk, Psikologi Kepribadian, Surabaya, Bumi Aksara, 1999, hal 175

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Manusia, Tuhan dan Alam,,,adalah kesatuan yang tak terpisahkan..sehingga berangkat dari kesatuan itu menjadi tak terhingga dalam semua sistem Tuhan yang tercipta.

    BalasHapus