Novel The Satanic Verses adalah salah satu karya Salman
Rushdie, seorang penulis asal India yang tinggal di Inggris. Novel yang
diterbitkan pada 26 September 1988 oleh penerbit Viking Penguin ini
telah memicu gelombang protes besar di berbagai dunia, terutama di dunia Muslim. Ini gara-gara isinya yang secara terang-terangan menghina Islam dan Rasulullah secara keji dan menjijikkan.
The Satanic Verses
– diterjemahkan menjadi ‘Ayat-ayat Setan’ – menyulut kontroversi dan
polemik berkepanjangan bahkan hingga kini. Sebuah fatwa mati terhadap si
penulis dikeluarkan oleh Khomeini. Sederet
orang yang dikaitkan dengan novel ini di sejumlah negara ditemukan
tewas, terutama para penerjemah The Satanic Verses ke bahasa-bahasa
lain. Rushdie pun harus bersembunyi demi menyelamatkan nyawanya. Ia juga harus bercerai dari istinya.
Sejumlah hal yang diakui telah menyulut kemarahan kalangan Islam adalah fakta bahwa Rushdie menggunakan kata ‘Mahound’ untuk merujuk kepada sosok mulia di mata seorang Muslim, yakni Nabi Muhammad saw. Kata ini merupakan bentuk penghinaan (derogatory) dari kalangan Pasukan Salib (Crusaders) di masa Perang Salib (Crusade). Kata
ini umum digunakan kalangan Nasrani Eropa semenjak Perang Salib untuk
menghina Nabi Muhammad saw, walau kini memang sudah tidak terlalu lazim
digunakan. Konon, penggunaan kata ini
sebagai salah satu judul bab Novel tersebut, membuat kalangan pembaca
dan kritikus di Barat tidak sadar bahwa Rushdie tengah merujuk kepada
Islam. Kata ini kemungkinan besar diambil Rushdie dari karya Edmund
Spenser, Faerie Queene.
Bab kedua novel ini, di beri judul Mahound,
menggambarkan episode awal perikehidupan sosok Muhammad saw sebagai
utusan Allah SWT. Tanpa tedeng aling-aling Rushdie menyebut Mahound
sebagai “si pedagang” (the businessman) yang gila (a looney tune, a gone baboon)
di saat pertama melihat Malaikat Jibril. Ia juga menyebut Allah dengan
“allgood” dan “allahgod”. Dan di bagian lain, Allah disebut sebagai
“jauh dari abstrak ... (sedang) duduk di tempat tidur, lelaki seusia
dirinya, rambutnya mulai botak, berkaca-mata dan tampaknya kepalanya
mulai berketombe.” (The angel Gibreel's vision of the
Supreme Being is described as "not abstract in the least. He saw,
sitting on the bed, a man of about the same age as himself", balding,
wearing glasses and "seeming to suffer from dandruff." (Wikipedia, “The Satanic Verses controversy”).
Di saat sakaratul maut, di Bab VI, Return to Jahilia,
digambarkan bahwa karakter Mahound ini bukannya dihampiri oleh malaikat
Israil (di Novel disebut Azraeel), melainkan oleh berhala Lata (Al-Lat)
yang berwujud perempuan. Kepada sosok Al-Lat ini Mahound berterima
kasih karena telah ‘membunuhnya’. Dan tokoh Ayesha yang mengumumkan
kematian Mahound, yang pada kenyataannya adalah shahabat Abu Bakr yang
menegaskan wafatnya Rasul sambil menyitir ayat bahwa Rasul adalah
manusia biasa yang merasakan mati dan hanya Allah yang layak disembah
yang tidak pernah mati.
Sejumlah
hal lain yang jelas menyinggung perasaan dan keyakinan umat Islam adalah
di Bab II, Rushdie menyebut Ibrahim a.s. sebagai “the bastard” (anak
haram) karena dengan “seenaknya” mengklaim bahwa Tuhanlah yang
menyuruhnya meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir. Rushdie
ingin menegaskan bahwa manusia dengan mudah bersembunyi di balik nama
Tuhan atas hal-hal “absurd” yang dilakukan. Selain itu di Bab VI Rushdie
juga menyebutkan bahwa ada duabelas pelacur dalam sebuah rumah
pelacuran bernama The Curtain (Hijab) yang menyaru
dengan menggunakan nama istri-istri Nabi. Meskipun ia menggunakan tanda
kutip tiap kali menyebutkan nama-nama tersebut, tetap saja tidak
mengubah fakta bahwa ia menghina para istri Nabi. Rushdie juga
menggunakan nama Jibril (Gibreel) untuk sosok bintang film dan
Shalahuddin (Saladin) untuk tokoh “setan”. Dua tokoh ini memang menjadi “guide”
dalam novel ini karena kisah merekalah yang digunakan Rushdie memintal
alur ceritanya, dari satu mimpi ke mimpi yang lain, lengkap dengan
segala perikehidupan maksiatnya.
Nama
Ayesha (Aisah, istri Rasul) digunakan Rushdie di dalam novel ini untuk
merujuk kepada sejumlah tokoh di tiap plotnya, dalam bab-bab yang
berbeda. Ada yang berperan sebagai pelacur dalam plot Mahound (Bab VI, Return to Jahilia),
ada yang sebagai sosok perempuan remaja India fanatik yang mengajak
pengIkutnya untuk menyebrangi laut guna mencari pengampunan dosa dalam
plot Titlipur (Bab IV, Ayesha dan VIII The Parting of the Arabian Sea),
dan sebagai penguasa Desh yang kejam dalam plot Imam (Bab IV). Kota
Jahilia mengacu kepada kota Mekkah. Berhala Baal berperan sebagai
seorang penyair yang kemudian menjadi ‘mucikari’ The Curtain membawahi
para pelacur yang menggunakan nama para istri Nabi.
Daniel Pipes, kolumnis garis keras di AS, bahkan juga bersepakat bahwa banyak elemen dalam novel ini yang menyinggung umat Islam. Misalnya saja menurut Pipes, soal
syariah Islam yang di tangan Rushdie menjadi bual-bualan aneh karena
mengatur segala hal termasuk (maaf) buang angin. Atau membuat seolah
Rasul (melalui sosok Mahound) percaya berhala Al-Lat itu ada atau
setidaknya nyata di mata Rasul.
Novel
ini tidak hanya menghina keyakinan ummat Islam, tapi merupakan karya
sastra yang oleh sebagian kalangan kritikus Muslim dianggap “bad fiction.” Dalam bukunya, Freedom of Expression in Islam,
(Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), Prof. Mohammad Hashim Kamali
menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw
sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.” Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hashim Kamali, “are not only blasphemous but also flippant.” Karena
banyaknya kata-kata kotor yang digunakannya, banyak penulis Muslim
menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang
digunakannya.
Rushdie adalah
sosok penulis yang nyeleneh. Demikian diakui berbagai pihak.
Karya-karyanya selalu menyerang pihak-pihak yang ia anggap ‘salah’ dan
membela yang ia anggap ‘benar’ walau dalam kontroversi Ayat-ayat Setan, pihak yang ia bela kemudian menyerang dirinya. Rushdie berasal dari keluarga Muslim India yang tidak ikut migrasi bersama enam juta
orang Islam ke wilayah yang sekarang menjadi Pakistan. Orang tuanya
tidak terlalu taat beragama dan tidak mendidiknya dengan baik dalam hal
agama. Bahkan keluarganya digambarkan sebagai liberal dan terbaratkan.
Rushdie bergaul dengan orang dari agama manapun tanpa daya kritis. Bahkan konon pada saat ia menulis novelnya ini, ia menganggap dirinya bukan seorang Muslim, setidaknya bukan dari kalangan Muslim yang menganggap bahwa ‘apostasy’ atau penistaan agama bukanlah sebuah tindak pidana (capital offense). Dan sebagai penulis yang menerima segala tradisi Barat, ia termasuk yang yakin bahwa menulis adalah bagian dari suatu tugas. Juga, tulisan yang ‘benar’ dan ‘diterima’ adalah yang menentang arus dan menghujat.
Penulis terkenal Karen Armstrong, dalam pengantar bukunya yang berjudul Muhammad: A Biography of the Prophet edisi tahun 2001 menulis bahwa gambaran buruk tentang Muhammad sudah sangat lazim terjadi di Barat. Karen
Armstrong menyayangkan, bahwa gambaran buruk tentang Nabi Muhammad yang
diberikan oleh Salman Rushdie melalui novelnya, The Satanic Verses
itulah yang justru banyak diserap oleh masyarakat Barat. “I wrote
the book because it seemed a piety that Rushdie’s account of Muhammad
was the only that most Western people were likely to read,” tulis Arsmtrong.
Penulis: R. Satrio, M.Pd.
(Alumnus Program Kader-Ulama DDII di Universitas Ibn Khaldun Bogor)
(Alumnus Program Kader-Ulama DDII di Universitas Ibn Khaldun Bogor)
0 Komentar