Subscribe Us

header ads

Konsep dan Pemikiran Tasawwuf Ibnu Arabi

  1. Wahdatul Wujud
Wihadat al-wujud adalah ungkapan dua kata, yaitu wihdat dan al-wujud. Wihdat artinya sendiri tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud adrtinya ada. Dengan demikian wihdat al-wujud berarti kesatuan wujud.[8] Menurut ulama klasik ada yang mengartikan wihdah sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Menurut para ahli filsafat dan sufisme al-wihdah sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak dan yang bathin, antara alam dan Allah.

Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap. Ibnu Arabi memberikan ilistrasi tentang bagaimana hubungan antara tuhan dan alam dalam konsep kesatuan wujudnya. “ wajah sebenarnya satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia akan menjadi banyak.” Segala macam benda dan mahluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (tajalliyat) tuhan.[9]

Faham wahdat al-wujud oleh Ibn al-Arabi menjadi Khalq –makhluk– dan lahut  menjadi haq ­–Tuhan–. Khalq dan haq [10]adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq.[11]

Konsep dasar pertama dari filsafat Ibn ‘Arabi adalah pengakuan bahwa hanya ada dzat tunggal saja, dan tidak ada yang mewujud selain itu. Istilah Arab untuk mewujud-wujud, yang dapat disamakan dengan kepribadian (eksisten). Perbedaan, yang banyak dilakukan di masa kini, antara mewujud dan mengada (being and existence) tidak dilakukan oleh Ibn Arabi. Maka ketika dia mengatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurutnya yaitu : Bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, Bahwa zat tunggal tidak terpecah ke dalam bagiannya[12],  Bahwa tidaklah ada berlebih di sini atau juga tidak kekurangan di sana. Oleh sebab itu, dalam setiap kepribadian tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan atau terbagikan dan seragam.[13]

Dengan kata lain, makhluk atau yang dijadikan, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Tegasnya yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah wujud bayangan. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
Ù‡ُÙˆَالأَÙˆَّÙ„ُ ÙˆَاّلأَØ®ِرُ ÙˆَالظَّÙ‡ِرُ ÙˆَاّلبَاطِÙ†ُ ÙˆَÙ‡ُÙˆَبِÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙŠّئٍ عَÙ„ِÙŠّÙ…ُ
Artinya: “ dialah yang awal dan yang akhir dan yang  dahir dan yang bathin dan dia maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. 57:3)

Dalam pandangan sufi, yang dimaksud dengan dzahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang bathin adalah dzat-Nya. Manusia dianggap mempunyai tersebut karena manusia berasal dari pancaran tuhan,  sehingga antara manusia dengan tuhan pada hakikatnya satu wujud. Perbedaanya hanya rupa dan ragam.
  1. 2.      Insan Kamil (manusia sempurna)
Doktrin insan kamil dalam tasawuf Ibnu Arabi, selain terkait erat dengan doktrin wahdatul wujud dari inti ajaran tasawuf ibnu arabi. Bahwa manusia mencakup dalam dirinya semua nama dan sifat tuhan. Konsekuensi ontologis sifat teomorfis ini, yang mencakup semua nama ilahi yang menampakkan dirinya pada alam sebagai keseluruhan, menjadikan manusia mencakup pula semua realitas alam. Manusia adalah totalitas alam. Karena itu, manusia disebut miniatur alam. Manusia atau tepatnya manusia sempurna adalah perpaduan[14] semua nama dan sifat tuhan serta semua realitas.[15]

Dalam konsep al-Insan al-Kamil yaitu merenungkan penampakan wajah Ilahi menampakkan wajah Tuhan yang ada pada setiap wujud dan yang berupa roh kudus dari wujud itu. Visi ini selaras dengan roh wujud ini berhubungan dengan suatu bentuk (hadharat) tertentu yang bersifat inderawi dan ragawi. Yaitu hal yang esensial bagi wujud Ilahi dengan kata lain esensi bagi Tuhan yang tak terbatas untuk memanifestasikan diri di dalam bentuk terbatas.[16]

Dalam konsep insan kamil merupakan awal dari konsep nububiyah, apabila muhamad mati sebagai tubuh, namun nur Muhamad tetap ada.  Sebab dia sebagian dari tuhan.[17] Insan kamil tak lain merupakan semacam cerminan dimana al-Haq bisa melihat diri-Nya atau akal yang mengetahui kesempurnaan sifat-sifat-Nya.[18]

Preoses yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi manusia sempurna adalah al-takhalluq bi ahlakillah (berahlak dengan ahlak Allah), yaitu berahlak dengan nama-nama Allah SWT. Takhalluq adalah membuat nama tuhan yang berbentuk potensial yang telah ada dalam diri kita menjadi aktual. Dengan ketaatan mutlak kepada tuhan, ketaatan itu tidak lain dari ubudiyah (penghambaan).[19]

Seorang manusia sempurna mengejawantahkan kesempurnaan manusia melalui realitas esensialnya, sebagai bentuk dari nama-nama allah, dan melalui pengejawantahan-pengejawantahan aksidentel, perwujudan luarnya mengejawantahkan nama tuhan secara nyata. Manusia-manusia  adalah bersifat tetap dalam hal esensi, sebagaimana halnya dengan wujud tuhan. Namun mereka mengalami berbagai transformasi dan transmutasi dengan cara berpartisipasi dalam ke-baqa-an dan penyingkapan diri tuhan.[20]

Daftar Rujukan


[9] Mulyadi Kartanegara. Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta; Penerbit Erlangga. 2006), 36.

[10] Kesatuan antara haq dan al-khalq disini bukan kesatuan dalam wahdah madiyah (kesatuan materi), bukan bersatunya mahluk dengan tuhan, hingga mengorbankan adanya dzat tuhan. Bahwa dzat yang sesungguhnya wujud yang hakiki hanyalah wujud allah semata. Sedangkan wujud selain Allah atau wujud mahluk hanyalah wujud relative yang sepenuhnya bergantung kepada wujud yang hakiki.sebagaimana dalam al-qur’an; “ wahai umat manusia, kalian adalah fuqara’ terhadap allah, dan allah-lah yang maha kaya lagi maha terpuji”.(Q.S. Al-Fathir: 15)

[11]  Harun Nasution, Filsafat Mistisisme dalam Islam, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). 92.

[12] Penyatuan dzat tuhan disini bukan dalam arti esensi (dzat)-Nya yang transenden, tetapi penyatuannya dalam arti nama-nama atau sifat-sifat tuhan. Apapun yang kita temukan di alam semesta ini merupakan manifestasi dari sifat-sifat tuhan.

[13] Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut tradisi Syari’ah Sufisme, cet.1,(Jakarta; Grafindo Persada, 1997), 168.

[14] Perpaduan disini adalah keutamaan manusia di atas mahluk yang lain yang memberinya kedudukan khalifah, sebagai hak istimewa yang tidak diberikan Allah SWT kepada mahluk lain. Perpaduan adalah syarat mutlak menduduki jabatan khalifah. Tanpa syarat ini, khalifah adalah mustahil. Satu-satunya yang memenuhi syarat untuk khalifah ini adalah manusia sebagai mahluk sempurna.

[15] Taufik Abdullah dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam jilid 4, (Jakarta; PT Ichtiar baru Van Hoeve. 2002), 165.

[16] Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, cet.1., LKiS, Yogyakarta, 2002, hlm. 503-504

[17] Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta; PT Renika Cipta. 2004), 101.

[18] M. Fudoli Zaini. Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikrannya, (Surabaya; Risalah Gusti. 2000), 114.

[19] Taufik Abdullah dkk.167.

[20] William C. Chittick. The Sufi Path Of Knowledge (Tuhan Sejati dan Tuhan-Tuhan Palsu), (Yogyakarta; Penerbit Qalam, 2001). 100-101.

Posting Komentar

0 Komentar