Subscribe Us

header ads

TUHAN


PENEMUAN manusia akan konsep satu Tuhan tidaklah melalui proses pendek. Karen Armstrong menggambarkan dalam A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, bahwa manusia senantiasa secara terus-menerus mencari penyebab pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi.

Kelahiran ide ''yang satu'' lahir atas gagalnya konsep ketuhanan banyak dewa, yang kemudian digantikan oleh Tuhan yang satu, sebagaimana diungkap oleh Wilhelm Schmidt dalam teori The Origin of the Idea of God. karena itu, monoteisme menjadi teori klasik dalam konsep ketuhanan.

Monoteisme inilah yang kemudian menjadi landasan ontologi dalam agama samawi.
Keharusan tuhan tunggal dan persona tuhan sebagai pribadi pencemburu --tidak boleh disekutukan-- seolah-olah sanggup memenuhi gambaran mengenai tuhan, yang katanya tak berbentuk itu. Akibatnya, manusia merasa mengenal Tuhan dengan gambaran jelas, dan terkadang perilakunya pun dapat ditelaah dengan logika.

Fenomena ini mendapat sorotan Goenawan Mohamad (Tempo, 8 November 2010), dengan menyatakan ketika semuanya dapat dijelaskan dengan logika, maka unsur ''kepekaan'' atau unsur sakral dalam agama telah hilang berganti ilmu logika. Jika begitu tidak ada beda antara agama dan ilmu sains lainnya. Mengenai hal itu, Rudolf Otto dalam The Idea of the Holy percaya bahwa unsur utama dalam pembentukan agama ialah rasa tentang gaib (numinous). 

Gaib yang dimaksud bukanlah sekadar fenomena alam melainkan cikal bakal spiritualitas manusia dalam memahami misteri alam. Maka tanpa disadari ketika yang sakral itu hilang, agama kemudian kehilangan juga rohnya. Padahal kaitannya dengan ilmu, agama seharusnya menjadi pendorong lahirnya perkembangan ilmu.
Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Einstein dalam ungkapan klasiknya, ''Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh''. Artinya, unsur gaib dalam agama selalu mendorong pertanyaan-pertanyaan bagi para ilmuwan agar mengembangkan keilmuannya, sebaliknya agama tak berdaya tanpa didorong dukungan ilmu yang memadahi. 

Namun, persoalan yang kini muncul, justru agama yang kemudian dipaksakan masuk dalam epistemologi ilmu. Segalanya harus dijabarkan secara logika. Inilah yang menjadi masalah. Persepsi logika manusia mengenai Tuhan tak akan pernah sampai pada penggambaran tentang Tuhan seutuhnya. Bahkan, menurut fenomenologi, ketika subjek sudah memberikan persepsinya terhadap objek maka yang terjadi adalah reduksi, karena penggambaran objek tidak sepenuhnya utuh.

Tuhan dan Kekinian

Konsep mengenai Tuhan adalah persoalan persepsi. Gambaran tentang Tuhan dapat berbeda-beda, tergantung siapa yang menggambarkannya. Pertentangan mengenai konsepsi Tuhan terjadi akibat keterbatasan manusia dalam mengonstruksi ketidakterbatasan Tuhan.

Karena itu, untuk menghindari pertentangan di seputar wilayah persepsi mengenai tuhan, diperlukan peningkatan kualitas beragama dari setiap manusia. Peningkatan kualitas itu dapat dibangun ketika seseorang sadar bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi dengan persepsi. 

Karena itulah, pada zaman modernitas ini ketika sains menjadi utama, diperlukan kembali semangat ''yang sakral'' dalam agama. Tidak semua harus dapat diungkap melalui logika karena tidak mungkin menggunakan epistemologi agama dalam ilmu, atau sebaliknya. 

Dengan begitu Tuhan tidak lagi harus dihadirkan melalui persepsi logika manusia yang terbatas. Tuhan dimaknai sebagai sebuah tindakan kasih tak terbatas dalam hidup manusia atau dalam konsep F Nietzsche menjadi ‹bermensch, sehingga manusia tak lagi teralienasi oleh persepsi tentang Tuhan. Namun Tuhan dapat hidup dalam diri manusia itu sendiri.

Bulan Ramadan yang penuh hikmah sekarang ini adalah kesempatan yang baik bagi kita semua untuk meningkatkan kualitas keberagamaan. Kesempatan untuk meningkatkan kesadaran kita bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi dengan persepsi; menemukan Tuhan, Sang Empunya Realitas, bukan dalam persepsi kita. faisal

Posting Komentar

0 Komentar