Subscribe Us

header ads

Gelora Jiwa


Langkah demi langkah terus kulewati, menapaki batu terjal menuju bukit yang tinggi menjulang, rasa haus, lapar, dentingan air mata, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupku. Aku bingung mengapa harus seperti ini, sementara sesuatu yang ku emban begitu berat, meski hal itu bukanlah suatu problem mendasar yang harus ku selesaikan. Betapa rasa nyeri dan pilu itu tidak pernah lepas dalam dadaku, bahkan rasa itu telah menjadi nikmat yang tiada tara, dan terus menari dikalbuku! Betapa aneh diriku ini tentang cinta, luka, dan air mata. Tuhan…..aku terus terang pada-Mu, selama ini aku tidak pernah merasakan hubungan cinta dengan siapapun makhluk ciptaan-Mu, kecuali cinta dan kasih sayang ibu yang terus mengalir kedalam darah dan jiwaku. Mengapa ini terjadi? Apa keinginan-Mu?.bukan aku tak ingin akan hal itu, sebagai manusia biasa, ku sangat ingin mengutarakan isi hati pada jodohku, tapi…..tapi siapa dia? Hanya Engkau yang tahu?.

Bagaimana aku harus pasrah diatas arogansi sajadah, supaya tidak menyentuh tanah, padahal aku terbuat dari tanah? Bagaimana aku harus menemukan kepasrahan dalam buaian capital? Tidak….tidak, Tuhan tolonglah hambamu yang papa ini! Tiap hari hanya melangkah dengan luka dan air mata, entah sampai kapan semua ini akan berlalu, meski aku harus berusaha sampai mati sekalipun, tapi aku tak ingin putus dari rahmat-Mu, tentang kenikmatan besar yang kau janjikan dalam firman-Mu.

Luka yang teramat semakin mendalam ditengah-tengah keterasingan dan kebingungan! Sebab cintaku telah menjadi mutiara yang mengkristal, sehingga perempuan-perempuan itu tidak pernah mengerti dengan diriku, tidak pernah memahami kesucian dan ketulusan jiwaku, karena kepentingan sesaat yang telah membuat buta dan tuli mata hati dan jiwa mereka. Benar-benar tidak bernurani, tahunya hanya mencaci maki dan sukses membangun ketidak-percayaan dalam jiwa dan hati mereka.  Aku tahu diri ini bukanlah Romeo dan Juliet yang secara fisik mempunyai ketampanan dan kecantikan begitu dahsyat memikat siapapun yang ada disekitarnya, aku tahu diri ini bukanlah Qais dan Laila dengan ketulusan cinta dalam jiwanya menjadi gila. Tapi aku bukanlah mereka, aku adalah aku yang selalu menjadikan air mata sebagai duka yang nikmat, gelisah menjadi senyum keabadian, luka dan rasa nyeri menjadi doa-doa dalam bingkai kearifan ber-Tuhan, tapi janganlah salah persepsi memandang diriku, aku bukan makhluk individualis, bukan pula sosialis, bukan pula politis, bukan pula kapitalis, dan juga bukan liberalis, yang tahu hanyalah mereka yang menilai dan menginterpretasikan diriku seperti apa yang mereka mau, itulah yang terjadi diluar sana, tapi yang pasti hanya dia, aku, dan Tuhan yang tahu.

Kekasihku yang seperti bidadari bermata biru, dimanakah engkau bersemayam, aku sungguh sangat merindukanmu, ingin menemuimu dalam kepasrahan dan ketidakberdayaan, karena dalam diriku sudah ada yang hilang, yaitu  engkau, kepingan jiwa yang tak kunjung datang. Aku merindukanmu bukan hanya hari ini, tapi semenjak mengenalmu, tapi tak tahu aku mengenal dirimu dimana? Apakah disurga cinta atau diistana berduka? Tapi yang pasti setiap hari, setiap saat, setiap detik, senyummu menyentuh bibir nuraniku, kau selalu hadir dalam imajiku, sampai-sampai aku tenggelam dalam pelukan rindu yang mengusik sepiku.

Kekasihku, aku menanti dan menunggumu sampai cintamu seperti mutiara yang mengkristal didalam kalbu, disaat itulah cintaku dan cintamu bertemu mencair menjadi satu dan tak ada yang akan memisahkan kita, kecuali kematian, dan cinta kita akan selalu hidup sampai akhir zaman, dan oleh karenanya cinta kita akan hidup kembali pada kehidupan selanjutnya.

Kini aku pasrah pada Tuhan, siapapun yang akan mengisi kekosongan jiwaku, yang akan menjadi jodohku, dialah pilihan Tuhan, karena ku yakin pilihan Tuhan adalah terbaik bagiku, meski jodohku seorang pelacur, pemabuk, buta, tuli, tak bertangan dan tak berkaki, bahkan tak beragama sekalipun, jika itu adalah pilihan Tuhan, maka aku akan berusaha untuk menjalaninya, dan itu semua adalah nikmat dalam instrumental kehidupan. Jika Tuhan sudah berkehendak aku tidak peduli dengan manusia siapapun yang melarangku, mencaci maki diriku, mengusirku, bahkan kematian didepan mata sekalipun akan aku lawan, dan aku tidak pernah takut dengan yang namanya kematian, selagi kuntum mawar merah masih terus hidup dan merekah untuk menghidupkan cintaku, karena sungguh-sungguh cintaku pada manusia hanyalah manifestasi dari cinta Tuhan, tidak lebih dan tidak kurang, sebagai bentuk perwujudan apa dan siapa yang kusayang.

Tak ada kata cinta, jika itu hanya membuat luka, penyesalan, dan keputusasaan!. Cinta itu tumbuh seperti benang emas yang terajut sedikit demi sedikit, menjadi sebuah kain sutra yang akan selalu menutupi aurat kekasihku, hanya satu yang kuinginkan, yaitu manifestasi pada bidadariku yang telah lama menghilang, sehingga kerinduanku semakin lama, semakin membeku, dan kepasrahanku pada-mu Tuhan adalah puncak dari ketidakberdayaan.

Pada akhirnya air mata ini harus jatuh diatas sajadah rindu dengan sejuta pengharapan yang tulus akan kesempurnaan iman.

Posting Komentar

0 Komentar