Subscribe Us

header ads

ISTANA PENJARA


Seringkali kami berpikir tentang sesuatu yang ada disekitar, kami tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, setelah agak lama kami hidup terkungkung dalam gelisah, seakan melihat jauh kedepan masih terasa suram, entah sampai kapan kejenuhan ini akan berkahir, apa gunanya hidup dalam ruang yang sangat megah, sementara kita tidak bisa melakukan apa-apa. Inilah fakta yang sebenarnya harus diungkap, bahwa kemewahan, harta yang melimpah, popularitas, tak selamanya akan menjadi tempat yang membahagiakan.

Hari terus berganti, ketika malam datang, tanpa terasa keesokan hari matahari itu terbit…..oh mengapa waktu ini begitu cepatnya, dan umur pun semakin menua. Ada rasa kekwatiran dalam diri, meski itu tidak terungkap lewat kata-kata maupun tindakan.

Bosan sudah dengan semua keadaan yang terjadi disekitar kami, seringkali harapan itu jauh dari kenyataan, meski tak harus diungkap, namun fakta itu sudah berbicara. Berbicara tidak harus dengan bahasa, akan tetapi gerakan bisa menjadi bahasa, walau kadang susah untuk dipahami oleh orang lain, hanya diri sendiri yang bisa memahaminya. Rasa lelah, haus, lapar, semuanya bercampur baur, tak ada yang bisa dilihat kecuali harapan masa depan. Pernahkah diri ini berpikir bahwa kebahagiaan itu akan datang tanpa diduga? Hal yang mustahil ketika diri ini tidak pernah berusaha. Sampai kapan usaha itu akan terus dilanjutkan? Sampai tujuan itu menemukan tujuannya. Jangan heran kalau diri ini hidup dalam keterombang-ambingan, bukan kemudian tidak punya prinsip, namun kondisi social mengajak seperti ini.

Bagsa kita telah lama menghilang ditelan kebiadaban, kemunafikan, dan tak berkarekater, hingga negeri lain susah untuk mengenalnya. Masihkah kita bertahan dalam negeri yang hilang dalam dunia maya? Oh…tidak..tidak mungkin kita menghilang dengan sendirinya, sementara banyak hal yang menyelimuti kita. Masihkah kita bisa bersuara, sementara mulut-mulut kita dibungkam oleh rupiah? Berbicaralah sesuai dengan apa yang terjadi, bahasa yang kita lontarkan supaya mampu untuk dipahami, hanya manusia baik dan benar yang bisa memahaminya, bukan mereka yang tuli, gila, dan tidak beradab, Seperti anjing saja mereka yang hanya mencari sesuap tulang tak berdaging untuk  dibuat tontonan dalam rangka mencari popularitas.

Kami sudah lelah, taidak semangat, capek, dan ingin berhenti dari hidup ini rasanya, tetapi bukan kematian yang berada didepan kami, karena kami tidak pernah takut dengan yang namanya kematian, justru kami ingin bangkit dari keterpurukan yang terus melanda jiwa bangsa ini. Negeri kami yang tercinta seperti istana yang didalamnya menyimpan bermilyar-milyar kekayaaan, hanya saja kami sebagai rakyat domba, yang suka dikibuli oleh mereka, sementara mereka seperti singa, anjing, yang tidak punya belasa kasihan.

Ya Allah….Tuhan diatas segala Tuhan-tuhan, bahwasanya negeri kami hanyalah negeri hantu, yang dipenuhi oleh para dedemit-dedemit, bergentayangan mengambil harta kami dengan tangan kanan mereka, sementara yang tangan kiri tidak mengetahuinya, mereka tak lagi bernurani, hilang bagai ditelan bumi.

Bangsat….kurang ajar, megapa kalian tega merampas hak kami? Itulah jeritan hati kecil kami sebagai rakyat kecil, mereka telah menuai janji-janji manis dedepan kami. Bapak……… ibu yang dihormati, kami minta tolong supaya saya dipilih dalam pemilukada, maupun legislatif, sya sudah siap untuk menjadi wakil kalian, duduk diparlemen, disenayan, untuk membantu babak dan ibu mengentaskan kemiskinan, dengan cara membuka lapangan kerja supaya tidak ada pengangguran, itulah janji mereka pada kami, tapi apa faktanya, mereka telah mengkhianati janjinya sendiri. Betul-betul jahannam bagi mereka yang tidak bisa memegang janjinya.

Setelah mereka menjadi wakil kami, mereka sudah berusaha melupakan janjinya yang pernah mereka katakan, karena lidah tidak bertulang, dan ini politik, itu yang mereka katakan, dan suara mereka sudah dibeli dengan kakayaan, maka bagaimana caranya korupsi, itu kemudian yang ada diotak mereka para wakil rakyat, Sungguh benar-benar brengsek, tapi itu bukan dosa lho, kata mereka, itu semua hanyalah alur cerita yang dipermainkan. Karena merasa tidak merasa berdosa telah memainkan peran yang disalahkan oleh nilai-nilai keTuhanan dan kemanusiaan, akhirnya mereka masuk dalam penjara tapi seperti istana, kenapa seperti istana, Kata kami? Karena mereka adalah mantan wakil rakyat, harus berbeda dong dengan pencuri kambing, mereka orang terhormat, kata sebagian dari mereka. Enak ya….jadi wakilnya rakyat, ketika sumpek, jenuh, bisa pergi ke Bali, ketemu dengan bule dan kolega. Satu bulan kemudian pergi ke Singapura jalan-jalan sambil nonton. Para wakil rakyat berkata, tidak ada dosa bagi kami melakukan apa saja, lho kenapa tidak ada dosa kata kami, mereka menjawab, sebenarnya ada dua jawaban yang harus diungkap..apa saja dua jawaban itu kata kami???dua jawaban itu pertama dalam diri kami sudah tidak ada tempat bagi yang namanya dosa, karena sudah bertumpuk-tumpuk, bahkan kalau ditumbuk, mungkin sudah melebihi gungung turzina, ha…ha….ha…ha, para wakil rakyat tertawa, inilah panggung sandiwara. Kedua kami sebagai wakil rakyat, hanya mempunyai satu program yang harus direalisasikan, yaitu bagaimana caranya mencari kekayaan harta untuk menghidupi tujuh turunan?, kami sudah tidak mau tahu itu uang siapa, yang jelas itu uang milik negara, yang diperoleh dari memeras keringat rakyat, Dan rakyat tidak boleh kaya, mereka tidak boleh pintar, mereka juga tidak boleh hidup nyaman dan sehat., karena semuanya akan dibuat oleh para wakil rakyat yang bejat menjadi sesuatu yang mahal harganya. 
   
Sudah saatnya penjara istana ini, dibombardir oleh nuklir dan kekuatan-kekuatan  yang mengatasnamakan rakyat, supaya luluh, hancur berantakan, sehingga hanya tersisa puing-puing busuk, maka kemudian kami atas nama rakyat membangunnya kembali menjadi istana yang megah, yang didalamnya berisi kekayaan yang melimpah ruah dan bisa dinikmati oleh mereka dari berbagai elemen untuk dinikmati bersama-sama, kemudian diatur oleh mereka yang jujur, bertanggung jawab, sesuai dengan kompetensinya masing-masing, bukan dengan cara-cara pendekatan dan nepotisme, sehingga yang ada hanyalah merusak tatanan untuk menuju kebahagiaan, kemakmuran, kesejahteraan, dan hidup dalam berkecukupan. (Faisal)

Posting Komentar

0 Komentar