Subscribe Us

header ads

Islam Dalam Bingkai Kultur dan Modernisasi (Pendekatan historis terhadap pergolakan Islam di Indonesia

Masuknya islam ke indonesia, kalau kita menilik kembali jarum sejarah adalah diprakarsai oleh pedagang gujarat yang sambil menyebarkan agama islam kependuduk setempat. Maka masukya agama terbesar diIndonesia ini sedikit banyak di pengaruhi oleh kultur dari timur tengah, sehingga islam yang berkembang diIndonesia mempunyai tingkat kontroversi yang cukup besar antara orisinilitasnya dan pencampuranya, artinya akulturasinya pada satu aspek cukup memadai dan keasliannya masih patut di pertanyakan.
Islam yang berkembang dengan cara yang cukup damai ini, bukan berarti tidak ada persoalan di dalamnya, namun justru dengan cara masuknya nilai-nilai islam kedalam budaya yang ada telah membawa dilema bagi masyarakat islam sendiri, apakah ini yang dinamakan dengan kolonialisasi kultur yang ada atau justru sebaliknya? Dengan demikian marilah kita tinjau kembali akar historis yang melingkupinya. Indonesia yang di dominasi oleh penduduk Islam yang cukup besar dinegeri ini yang kami katakan kembali tidak pernah menemukan wajah aslinya ketika dihadapkan pada kondisi riil yang terjadi, kembali lagi masyarakat terjebak pada pemahaman Islam yang kaku, atau kalau kita mengutip pemikiran Mu’rif dalam bukunya yang berjudul: pembaharuan pemikiran islam, secara substansi islam bisa dipetakan dalam dua ranah pemahaman, pertama, islam di fahami sebagai sistem nilai yang bersifat universal, kekal abadi dan non spatio temporal (tidak mengenal ruang dan waktu). Kedua, islam di fahami sebagai “fakta sejarah” (Islam historisitas) yang dalam karakternya selalu berubah-ubah secara dinamis. Pemahaman Islam yang satu ini melingkupi ruang dan waktu (spatio temporal), bersifat dinamis dan sekaligus memberikan pengertian yang sangat relatif. (Mu’arif: 2005: 02).
Fenomena yang ada pada masyarakat Indonesia masa dulu dan sekarang yang jelas banyak perubahan yang telah terjadi, apabila mengacu pada pemahaman masyarakat Islam Indonesia yang dilontarkan diatas ada pemahaman yang justru sangat controversial, yang pertama pemahaman terhadap islam dalam konstek universalitas, kekal, dan kebenarannya tidak bisa diganggu gugat (Qat’i)  yang beranggapan bahwa system nilai islam itu berkarakteristik kekal abadi dan tidak mengenal ruang dan waktu. Pada satu sisi islam memang terlahir dari sang kholiq yang kemudian diperuntukkan untuk makhluk yang bernama manusia berakal, artinya pemahaman tersebut ada semacam stagnasi pemikiran ditubuh Islam sendiri yang membuat pemeluknya terjebak pada halal dan haram mengenai statemen yang dihasilkan oleh pembaharu islam, sedangkan pemahaman yang kedua justru sebaliknya yaitu memahami Islam yang merupakan bagian dari fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri dan dalam karakternya selalu berubah-ubah secara dinamis sesuai dengan ruang dan waktu yang inklud di dalamnya, kalau meminjam istilah Ahmad Wahib “Islam kondisionalitas” artinya bahwa ketika Islam di fahami dari bagian sejarah, maka disinilah ajaran tentang islam itu sendiri ada campur tangan pemikiran dari pemeluknya,dan akan terus berubah secara dinamis, nah disinilah pergolakan pemikiran mengenai Islam dalam kondisi masyarakat yang beragam, apakah islam tersebut benar-benar sebagai agama rahmatan lil alamin, atau justru sebaliknya?
Dengan dua pemahaman yang justrru sangat berbeda itu, telah membuat Agama besar ini kehilangan eksistensinya sebagai Agama rahmatan lil alamin, dan disini pula terjadinya persepsi yang berbeda sehingga menimbulkan perpecahan. Pemahaman tentang universalitas Islam telah membawa pemahaman yang kaku, sehingga Islam dianggap sebagai Agama yang kebenarannya absolut, jadi ketika ada campur tangan manusia dianggap kafir, bahkan parahnya sampai pada perbuatan yang anarkis, seperti pengeboman yang dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap maksiat, maka disinilah Islam dituduh sebagai agama teroris.
Pada substansinya semua agama mengajarkan kedamaian dalam kehidupan sosial ini, namun justru banyak para  oknum yang kemudian memanfaatkan situasi dan kondisi dengan mengatasnamakan agama demi kepentingan pribadinya, hal itulah yang kemudian membuat citra suatu agama tertentu jelek pada pandangan agama lain, dan pergolakan semacam hal tersebut menjadikan agama tertentu tersudut atau dilema dalam bingkai kemaslahatan ummat dan kemaslahatan bangsa. Sehingga ada salah satu agama yamg kemudian di claim sebagai agama teroris, bahkan ironisnya telah menyalahkan tradisi lama, kalau dalam Islam sasarannya adalah podok pesantren yang dikatakan sebagai sarang teroris.
Islam, kultur dalam dunia islam dan sejarah Islam itu sendiri pada hakekatnya tidak bisa di pisahkan satu sama lain, sebab Islam mempunyai sejarah dan pembentukan budaya yang cukup panjang dalam mengiringi eksistensinya, disamping itu pula Islam banyak di fahami sebagai bentuk kepercayaan yang mempunyai dinamisasi cukup tinggi. Maka secara historis pemahaman tentang Islam mempunyai corak yang berbeda-beda tergantung pada pemahaman dan penafsiran tentang Islam ketika dikaitkan dengan dunia realitas.
Dinamisasi dalam pergolakan Islam terus mencuat kepermukaan, hal ini harmonisasinya dengan historis Islam khusunya yang berkembang dalam konstek keIndonesiaan, maka ketika agama khususnya Islam ketika dikaitkan dengan Negara tidak akan pernah terlepas pada aspek politik yang berkembang di Indonesia, dan seyogianya harus ada pemetaan antara politik dan system kepercayaan yang di bangun, artinya dua hal ini tidak bisa kemudian di campur adukkan, sebab pada satu sisi antara agama dan nilai politis tersebut tidak mungkin untuk dipadukan, walupun pada aspek yang lain hal tersebut mempunyai keterkaitan. 
2. Kolonialisasi kultur dan Politik Di Indonesia

Seorang tokoh sekaligus cendekiawan muslim Indonesia yang kita kenal adalah Nur Cholis Majid, yang  panggilan akrabnya adalah Cak Nur, mengatakan “Islam Yes dan partai Islam No”  statemen yang dilontarkan oleh Cak Nur tersebut, telah mengundang reaksi dari para tokoh-tokoh besar yang ada di Indonesia. Oleh karena itu beliau memandang negeri kita yang tercinta ini sangatlah plural penduduknya (plural sociaty) yang menempatinya, keberagaman atau kemajemukan penduduk Indonesia tidak mungkin kemudian didominasi oleh satu kelompok, akan tetapi dari berbagai elemen penduduk yang ada mempunyai corak budaya, kepercayaan yang sangat beragam,artinya ketika hal itu didomiasi oleh satu kelompok, maka yang akan terjadi adalah suatu konflik berkepanjangan dan konskwensinya adalah pertikaian antar agama,budaya, dan lain sebagainya.
Berangkat dari analisa tersebut penulis mencoba mengutarakan kultur dan politik yang ada diIndonesia yang tidak bisa dilepaskan antara yang satu dengan lainnya, artinya dua hal tersebut mempunyai korelasi yang sangat erat. Dari zaman dahulu kultur yang berkembang diIndonesia sangatlah beragam, sehingga hal itu sangat berimplikasi terhadap perkembagan politik yang ada, disamping itu pula pengaruh budaya barat telah mewarnai terhadap pola budaya yang berkembang di Indonesia. Maka yang terjadi  kemudian adalah suatu pembaharuan sistem politik yaitu awalnya sentralisasi dan sekarang menjadi desentralisasi, sedangkan pada aspek budaya yang berkembang telah mengalami pergeseran, dari gotong royong menjadi kehidupan sendiri-sendiri.
Ideologi-ideolgi yang berkembang, khususnya diIndonesia, kalau penulis mencoba menganalisa sungguh sangat beragam, mulai bentuk-bentuk ideology materialisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, feminisme, nasionalisme, dan lain sebagainya., yang hal tersebut mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan social budaya yang ada di Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang cukup besar telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945, dan secara konstitusional Indonesia telah resmi menjadi negara yang merdeka, akan tetapi persoalannya apakah bangsa kita yang tercinta ini telah merdeka dari imperialisme barat baik secara sosio kultural maupun bangunan politik yang kemudian dikembangkan? Walaupun tidak bisa dikesampingkan bahwa faham-faham yang akal sehat bisa kita terima dengan lapang dada, seperti “ cinta tanah air adalah bagian dari iman” hal tersebut merupakan bagian dari  nasionalisme yang di gembar-gemborkan oleh para elit politik maupun oleh tokoh agamawan, apakah sudah cukup memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan keummatan dan kebangsaan? Hal ini perlu kita pikirkan kembali terhadap ideology yang kita kembangkan saat ini, apakah Islam-nasionalis telah benar-benar menjadi suatu pemahaman yang mempunyi akar yang kuat pada golongan bawah, atau justru ideology tersebut telah manjadi boomerang yang hanya di manfaatkan oleh sekelompok manusia yang tidak bertanggung jawab, dan hanya dijadikan sebuah alat untuk mencari simpati masyarakat dalam rangka memegang kekuasaan untuk mengantongi kekayaan semata.
Budaya masyarakat Indonesia yang sangat mejemuk telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan ini, disamping itu pula beragam kultur telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran para tokoh dunia, sehingga yang terjadi adalah akulturasi yang hal itu kadangkala hanya merugikan salah satu pihak saja, misalnya dalam aspek politik yang menyangkut tatanan negara, yaitu maraknya nepotisme, money politik, sikat sana-sikat sini yang semata-mata hanya mencari keuntungan sendiri tanpa memperdulikan kaum dhuafa’ atau kaum mustadafin, sehingga hal ini merembet pada aspek ekonomi. Jadi yang banyak di untungkan adalah kaum berdasi beserta antek-anteknya.
Islam pada hakekatnya sebagai agama rahmatan lilalamin yang selalu kita dengungkan akan menjadi agama penyelamat terhadap kehidupan beragama ini, pada saat sekarang tidak menemukan eksistensinya sebagai agama yang menyelamatkan ummat manusia, kenapa kemudian kami katakan seperti itu! Sebab Islam yang mengajarkan perdamaian dalam satu wadah (ummatan wahidah) hanya dijadikan sistem kepercayaan yang di buat alat untuk mencapai tujuan duniawi semata, walaupun tidak mungkin kemudian dilepaskan argumentasi yang menakjubkan sebagai salah satu topeng terhadap kebobrokan penganutnya,  maka hal ini cukup ironis terhadap perkembangan Islam yang dianggap semakin mundur di mata orang-orang non muslim, sehingga ada statemen yang mengatakan bahwa “ummat islam mundur karena banyak meninggalkan ajarannya, sedangkan orang non muslim maju karena banyak yang mempelajari ajaran Islam” dengan demikian realitas menunjukkan bahwa eksistensi Islam sangat pudar dalam perkembangan maupun tentang kemajuan Islam itu sendiri ketika di kaitkan dengan pemikiran yang lebih segar.wallahu a’lam bissowab. 

Suatu pemikiran yang terlahir dari dunia barat (non muslim) telah banyak mempengaruhi perkembangan Islam, dan hal tersebut tidak mungkin untuk kita pungkiri, sebab fakta sosial yang akan selalu menunjukkan bahwa ada semacam gesekan terhadap pola yang dikembangkan dalam dunia Islam. Apakah hal itu dikatakan sebagai fenomena imperialisme atau merupakan dinamisasi dalam pergolakan sebuah ideologi yang kemudian turut andil dalam perkembangan Islam selanjutnya.
Fakta sejarah mengatakan bahwa ada dua pemahaman besar dalam dunia Islam, pertama agama yang besar ini sebagai agama langit yang kebenarannya dianggap mutlak atau juga di sebut dengan universalitas Islam dan kebenarannya tidak dapat diganggu gugat, sehingga pada satu sisi telah membuat kenyataan dalam Islam stagnasi. kedua pemahaman terhadap Islam itu terus berkembang secara dinamis sesuai dengan konstek zaman yang mengiringinya, maka disinilah kemampuan interpretasi terhadap pemahaman Islam terus berkembang, sehingga hal tersebut tidak mungkin untuk di hindari. Gesekan-gesekan secara ideologis itu tidak pernah menemukan titik temu untuk memadukan islam yang sesungguhnya dengan islam dalam konteks ke Indonesiaan. Disamping itu pula aspek politik dan budaya turut andil mempengaruhi ajaran islam itu sendiri, sehingga pergolakan dan perkembangan dalam pemikiran Islam terus berlanjut hingga sampai sekarang, dan hal itu perlu kita cermati bahwa Islam bukanlah agama yang mempunyai ajaran yang kaku, atau kalau boleh kami katakan “bahwa Islam akan terus berkembang sesuai dengan pemahaman pemeluknya serta kemampuan menginterpretasi Islam selaras dengan kondisi zaman yang mengiringinya. 

A.  Melegtimasikan Korupsi (Refleksi Mahasiswa Mengontrol Birokrasi)

Hari kamis, tepatnya taggal 09 Desember 2010, merupakan momentum untuk memperingati hari anti korupsi di seluruh belahan dunia, demikian pula dinegeri tercinta yang bernama indonesia, yang mempunyai tingkat korupsi yang cukup tinggi, sehingga dampaknya cukup signifikan terhadap tata aturan dalam sebuah negara, maka tidak bisa dipungkiri kemudian adanya  agitasi-agitasi miring yang acapkali dilontarkan oleh para politikus, bisnisman lagi-lagi mencuat kepermukuaan. Hal ini adalah fenomena sosial yang melanda bangsa indonesia.
Tingginya tingkat korupsi yang ada di Indonesia sungguh sangat ironis sekali dan hal tersebut akan berdampak struktural dan sistemaris, dan apabila hal ini terus menerus melanda negeri ini, maka tidak bisa dipungkiri bangsa ini akan terpuruk dalam tingkat kemiskinan yang cukup tajam, dan efeknya kembali rakyat kecil akan menjadi tumbal dari keserakahan birokrasi di negeri ini.
Bagaimana peran kita sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam? Partisipasi kita sebagai warga yang baik, tentu harus memegang teguh tegaknya panji-panji kebenaran sesuai dengan hukum agama sebagai keyakinan yang mengandung peraturan yang mengikat bagi pemeluknya, hukum negara yang harus ditaati dan dipatuhi oleh warganya, dan hukum tradisi yang mengikat bagi warga yang ada di dalamnya, walaupun kadangkala sifanya sangat plural di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya, tetapi mengapa rakyatnya turun temurun harus menjadi warga yang miskin? Siapakah yang harus dipersalahkan? Benar memang bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya raya, dimana pertanian cukup subur dan maju, pajak bumi dan bangunan begitu besar asetnya yang disetorkan kenegara, tetapi hal ini tidak dikelola dengan tepat, efisien, dan benar oleh pemerintah yang bersangkutan, justru kewenangan tersebut dijadikan kesewenang-wenangan untuk kepentingan menumpuk kekayaan diri, disinilah titik lemahnya negeri tercinta ini.
Mahasiswa sebagai salah satu elemen masyarakat dan kepemudaan, tentu harus berperan aktif dalam mengawal demokrasi kita, hal ini tidak bisa lepas dari tri dharma mahasiswa sebagai agen of cgange, control, dan analisis. Kemudian apabila ketiga hal tersebut tidak diasah maka akan memungkinkan tumpulnya gerakan mahasiswa dalam mengawal reformasi, dan hal ini sudah terjadi puluhan tahun yang silam. Oleh sebab itu marilah kita bangun kembali tradisi-tradisi intelektualisme ditingkatan mahasiswa secara umum dan lebih khusus lagi, bagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu elemen untuk terus mengkritisi berbagai macam problem keummatan dan kebangsaan ini.
Dinegeri ini sudah dibentuk badan-badan khusus untuk menangani persoalam-persoalan ditubuh bangsa, ada komisi pemberantasan korupsi  (KPK), ada jaksa agung, dan ada mahkamah konstitusi, yang semuanya menangani persoalan-persoalan dinegeri ini, tapi apa faktanya, justru berbalik 80 derajat, semuanyapun bisa ditukar dengan uang, termasuk moralitas dan keimanan birokrasi kita, hanya demi menuhankan yang namanya “Uang” mereka rela menggadaikan semuanya, maka kemudian perlu didekonstruksi ulang ideology kebangsaan kita yang menganut asas Tunggal Pancasila, dengan jargon yang fenomenal “Bhineka Tunggal Ika“  (berbeda-beda tapi tetap satu), namun pada sisi yang lain bahwa uang sudah menjadi keTuhanan yang maha berkuasa.  
Kami kira bahwa kontrol kita terhadap pemerintah di tiap-tiap instansi tidak hanya pada momentum peringatan anti hari korupsi yang dilaksanakan pada hari kamis kemaren, namun jauh kebelakang bahwa korupsi ini sudah menjadi bagian mentalitas dari  birokrasi kita yang sudah mendarah daging, mulai dari orde baru yang dikenal dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), sampai pada detik ini pun dengan adanya penyelundupan uang senilai 6,7 triliun yang ada di bank century dan diprakarsai oleh saudara Anggodo Dkk, hingga pada kasusnya Gayus Halomoan Tambunan yaitu mafia pajak yang merugikan uang negara sampai triliunan rupiah. hal ini adalah persoalan yang terus berkesinambungan, dan tentu butuh kritik sosial dalam membangun bangsa yang lebih beradab, bukan semakin biadab.
Disinilah sebenarnya bahwa tantangan yang cukup besar bagi aparat penegak hukum harus benar-benar menjadi fondasi dasar bagi tegaknya aturan atau hukum dinegeri ini, yang berlandaskan pada asas tunggal pancasila dan UUD 1945 dalam membangun fondasi bangsa yang saat ini cukup rapuh.
Pada hakekatnya mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tidak menginginkan kasus korupsi terus menerus datang silih berganti dan berkelanjutan menimpa bangsa ini. Anehnya bahwa penanganan terhadap banyak kasus korupsi yang ada di Indonesia justru tidak pernah ada yang selesai sampai tuntas, artinya bahwa lemahnya kontrol sistem ditingkat birokrasi, terutama aparat penegak  hukum, yang mempunyai kewenangan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang mengharuskan menjerat para koruptor yang jelas-jelas itu mengkorup uang negara. Lebih ironis lagi penanganan terhadap kasus korupsi hanya terkesan retorika dan kepentingan para pejabat tinggi negara, yang justru akan merapuhkan sendi-sendi pembangunan bangsa ini.
Suatu hal yang cukup subtantif pertanyaannya adalah “Mana Suara Susilo Bambang Yudhoyono? Pendekar dari pacitan yang sekarang menjadi orang nomor satu di negeri ini, mengapa kasus korupsi terkesan dipermainkan? pembentukan aparat penegak hukum, seperti KPK, Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung hanya menjadi topeng untuk mengkelabui rakyat, sementara fungsi, dan kinerja mereka masih penuh dengan tanda tanya. Apakah mereka takut pada koruptor? Atau mereka sudah dibungkam mulutnya dengan rupiah? Hal inilah yang kemudian menjadi risaunya masyarakat indonesia.
SBY selaku kepala negara mempunyai kewenangan yang penuh (hak preogatif) mengatur jalannya sistem pemerintahan, jika ada salah satu sistem yang sakit, maka tidak bisa dipungkiri semuanya akan merasa sakit, maka penyakit kronis itupun perlu untuk disembuhkan, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pancasila dan UUD 1945, bukan lantas kemudian mencari titik aman dalam rangka penyelamatan diri, bahwasanya bangsa kita ini butuh orang yang mempuyai keberanian yang tinggi, kecerdasan yang mempuni, kejujuran, keadilan (kearifan nasional) demi membangun bangsa yang cerah dan maju, apa gunanya orang cerdas ketika dia tidak punya keberanian yang cukup dalam mengambil suatu kebijakan. faisal.

Posting Komentar

0 Komentar