Ungkapan takdir lebih sering muncul dalam suasana kekalahan, penderitaan, dan bahkan lekat dengan keputusasaan.
Padahal, takdir seyogyanya adalah hal yang membahagiakan, menentramkan dan membebaskan.
Bagaimanapun Tuhan sangat adil menentukan takaran takdir-Nya buat setiap mahluk-Nya. Kehidupan mahluk berasal dari Rahmat-Nya; dari kasih-sayang-Nya!
Sementara, kebebasan itu haruslah diperjuangkan. Bolehlah kita berkata bahwa perjuangan hidup dan kehidupan merupakan perjalanan menuju takdir.
Dan, perjalanan itu tentulah sebuah langkah sengaja, gerak sadar, dan dipenuhi dengan berbagai pengetahuan, keinginan, serta kalkulasi berbagai risiko. Kesadaran akan sebuah takdir pastilah dihasilkan dari sebuah proses panjang.
Pun dengan politik dalam demokrasi. Dibandingkan sebagai rumusan hasil akhir, politik di dalam demokrasi lebih merupakan proses.
Demokrasi menjanjikan pembebasan. Perwujudan janjinya membutuhkan kerja keras, konsistensi dan lebih penting dari itu, harus berdasarkan pada dukungan dan mandat penuh dari semua kalangan.
Mungkin setengah dari pemberian amanat kepada seseorang adalah memperhatikan bukti kinerja, dan mungkin setengahnya lagi berasal dari desakan ekspektasi.
Seorang pemegang amanat, selain harus menunjukkan konsistensi kinerja, juga butuh konsistensi moral. Hal inilah yang kini sedang dipertaruhkan dalam pesta dan panggung demokrasi.
Pesta dan panggung, kendati menjajakan keceriaan, kebahagiaan, kesenangan dan bahkan kemewahan, seringkali bukanlah fakta yang sesungguhnya. Selalu hadir sesuatu yang semu di sana.
Dan pertarungan politik, persaingan demi persaingan memperoleh amanat dari rakyat, tidak jarang berlangsung menjadi sebuah pertandingan jagad simbolik.
Karenanya si petarung, penting menunjukkan kinerja dan reputasi. Jangan sampai nanti keberatan simbol; bajunya demokrasi, tapi ruhnya otoriter; kainnya berhasil menutup aurat, tapi ucapannya penuh caci-maki; pidatonya berapi-api memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, tapi auranya memendam ketidaksukaan, ketidak-ikhlasan, kemarahan dan bahkan dendam politik.
'Ala kulli hal, politik dan demokrasi bukanlah tontonan pertandingan final sepak bola. Menata politik dalam panggung demokrasi bukanlah menata sebuah pesta.
Politik adalah perjalanan panjang dalam bingkai demokrasi untuk menjemput takdir sebuah bangsa. Tidak hanya takdir keadilan dan kesejahteraan yang dijemput, namun lebih penting dari itu, maghfirah dan rahmat Tuhan yang diharap.
Seperti pepatah Arab klasik: kama takumu yuwalla 'alaikum (sebagaimana demikian keadaan rakyatnya, seperti itulah pemimpin yang akan dihasilkan).
Padahal, takdir seyogyanya adalah hal yang membahagiakan, menentramkan dan membebaskan.
Bagaimanapun Tuhan sangat adil menentukan takaran takdir-Nya buat setiap mahluk-Nya. Kehidupan mahluk berasal dari Rahmat-Nya; dari kasih-sayang-Nya!
Sementara, kebebasan itu haruslah diperjuangkan. Bolehlah kita berkata bahwa perjuangan hidup dan kehidupan merupakan perjalanan menuju takdir.
Dan, perjalanan itu tentulah sebuah langkah sengaja, gerak sadar, dan dipenuhi dengan berbagai pengetahuan, keinginan, serta kalkulasi berbagai risiko. Kesadaran akan sebuah takdir pastilah dihasilkan dari sebuah proses panjang.
Pun dengan politik dalam demokrasi. Dibandingkan sebagai rumusan hasil akhir, politik di dalam demokrasi lebih merupakan proses.
Demokrasi menjanjikan pembebasan. Perwujudan janjinya membutuhkan kerja keras, konsistensi dan lebih penting dari itu, harus berdasarkan pada dukungan dan mandat penuh dari semua kalangan.
Mungkin setengah dari pemberian amanat kepada seseorang adalah memperhatikan bukti kinerja, dan mungkin setengahnya lagi berasal dari desakan ekspektasi.
Seorang pemegang amanat, selain harus menunjukkan konsistensi kinerja, juga butuh konsistensi moral. Hal inilah yang kini sedang dipertaruhkan dalam pesta dan panggung demokrasi.
Pesta dan panggung, kendati menjajakan keceriaan, kebahagiaan, kesenangan dan bahkan kemewahan, seringkali bukanlah fakta yang sesungguhnya. Selalu hadir sesuatu yang semu di sana.
Dan pertarungan politik, persaingan demi persaingan memperoleh amanat dari rakyat, tidak jarang berlangsung menjadi sebuah pertandingan jagad simbolik.
Karenanya si petarung, penting menunjukkan kinerja dan reputasi. Jangan sampai nanti keberatan simbol; bajunya demokrasi, tapi ruhnya otoriter; kainnya berhasil menutup aurat, tapi ucapannya penuh caci-maki; pidatonya berapi-api memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, tapi auranya memendam ketidaksukaan, ketidak-ikhlasan, kemarahan dan bahkan dendam politik.
'Ala kulli hal, politik dan demokrasi bukanlah tontonan pertandingan final sepak bola. Menata politik dalam panggung demokrasi bukanlah menata sebuah pesta.
Politik adalah perjalanan panjang dalam bingkai demokrasi untuk menjemput takdir sebuah bangsa. Tidak hanya takdir keadilan dan kesejahteraan yang dijemput, namun lebih penting dari itu, maghfirah dan rahmat Tuhan yang diharap.
Seperti pepatah Arab klasik: kama takumu yuwalla 'alaikum (sebagaimana demikian keadaan rakyatnya, seperti itulah pemimpin yang akan dihasilkan).
Penulis : Anas Urbaningrum
0 Komentar