Semula saya berpikir, “Tega amat!”
Tuhan menimbun saya dengan tumpukan penderitaan. Mengapa Tuhan mencipta
saya! Jika hidup adalah rangkaian kesalahan yang dikehendaki Tuhan
untuk hamba-Nya, untuk apa Tuhan ciptakan surga dan neraka. Bukankah keburukan dicipta Tuhan.
Pernah
saya mendongkol, “Tuhan. Jika kesalahan atau keburukan Engkau cipta,
surga dan neraka-Mu tak bermakna!” Tuhan mencipta keburukan. Kemudian
hamba-hamba-Nya tersandung oleh keburukan itu. Akibatnya hamba-hamba
menanggung kesalahan. Jreng… di-cemplung-kan ke dalam
kerak-kerak neraka. Seperti tahu digoreng di tungku panas membara.
Semula berwarna putih bersih. Akhirnya matang bahkan gosong. Hiii… serem!
“Kemudian Engkau paksa aku mengakui keadilan-Mu. Please… deh!”
Masih
terpatri di benakku, dongeng tidur mama ketika kulewati masa kecil di
kampung. “Lihat itu, bulan cantik mengambang di langit!” ucapnya, sambil
duduk di balai bambu, dia pangku aku. Dia rela aku bersandar di
dadanya. Sambil mendekapku, kakinya diayun-ayunkan perlahan.
“Cahayanya
berpendar-pendar, membuat gemintang tampak berkedip-kedip. Nak,
rasakanlah, semua itu untuk kita nikmati. Betapa Tuhan Maha Indah. Tuhan
tahu, bagaimana cara membuat kita bahagia malam ini.” Tak ada yang
paling indah ketika itu, mamaku anugerah terindah dari Tuhan.
Masih
kuingat, saat menjelang tidur, mama menarasikan keperkasaan Nabi Daud
as mengalahkan para penjahat. Atau ketika mengisahkan kekasih Allah,
Ibrahim as yang sakti mandraguna tak mempan dipanggang api. Aku
benar-benar seolah jawara saat mama dengan ekspresif menceritakan masa
kecil Nabi Musa as ketika menjambak-jambak jenggot Fir’aun. Perasaanku
sama, saat mama bertutur bahwa Nabi Isa as mampu berbicara sejak lahir
dan mencemooh Bani Israil.
Aku terpukau dan sakaw. Betapa mama mampu menghadirkan sosok Al-Amin
yang disandang seorang bocah bernama Ahmad. Dia jujur. Penggembala
kambing. Yatim sejak dalam kandungan. Diasuh oleh kakek dan pamannya
ketika ayahnya meninggal.
“Nabi
Muhammad saw orang suci, nak. Betapa bahagia, Aminah, mama Nabi
Muhammad saw. Putra tunggalnya adalah insan teragung di alam semesta.
Nak, meski hidup susah, Nabi Muhammad tetap memelihara kejujurannya.
Ahlaknya adalah panutan manusia sepanjang zaman. Anakku, kulekatkan
namanya di dirimu agar engkau selalu menjadikan dia panutanmu,” ujar
mama sambil mengelus-elus dahiku. Ketika itu, imajinasiku menembus ruang
dan waktu menuju Mekah. Akhirnya aku terlelap sambil memeluk guling di
tempat tidur. Berharap mimpi bertemu Nabi.
Secepat
kilat. Waktu merambat. Selepas SMU, tepat tengah malam, kudengar mama
berdoa di sudut mushalla rumah, “Ya Allah Tuhan Muhammad saw dan
keluarganya, Tuhanku, Tuhan suami dan anak-anakku. Hamba mohon, belas
kasihanilah hamba. Tiada tempat hamba mencurahkan kegundahan, kecuali
Engkau. Hamba tahu Engkau tidak pernah tidur. Hamba yakin Engkau
mendengar keluh hamba. Tuhan sembuhkanlah sakit suami hamba, ayah
anak-anak hamba. Kasihanilah dia, putra-putranya masih membutuhkan biaya
demi menggapai cita-citanya. Bukankah dari tangannya, Engkau alirkan
rezeki-Mu. Ya Allah, sehatkanlah suamiku yang sedang tak berdaya di atas
ranjang karena derita diabetes!” Aku hanya bisa mengamini di dalam
kamarku yang bersebelahan dengan mushalla. Aku yakin Tuhan mendengar
kemudian mengabulkannya.
Tapi
apa yang terjadi! Ayahku meninggal. Paru-parunya yang tinggal separuh
akibat digerogoti diabetes tak lagi bernafas. Ketika itu aku mengumpat,
“Tuhan, mamaku orang shaleh. Jika Engkau tak pertimbangkan doaku, karena
aku tak sebaik mama, setidaknya Engkau jaga perasaan mama yang tak
henti menyungkurkan dahi sepanjang malamnya!”
Sejak
kecil hingga sebelum ayah meninggal, saya selalu berterima kasih atas
pesembahan-Nya; mama. Mama persembahkan taman hati bagiku. Rimbun nan
mempesona. Di situ saya jumpai aneka warna kembang. Ada yang masih
kuncup. Ada pula yang sudah mekar. Beragam warnanya, terlihat indah
mempesona dan semuanya wangi. Kujumpai pula retasan air terjun bak
butiran berlian berjatuhan dari langit. Di atas genangan airnya, kulihat
pelangi tersenyum mengajakku untuk berenang di bening air yang pasti
segar dan menyegarkan pori kehidupanku. Semua yang berada di taman itu
memerankan tugasnya masing-masing, saling melengkapi satu sama lain.
Pohonan rimbun menaungi setiap tumbuhan dan hewan di bawahnya. Rusa-rusa
berlompatan bersenda gurau, tertawa geli ketika burung Jalak
mematuk-matuk kutu di punggungnya. Kupu-kupu menari riang mengitari
bunga mawar yang merekah menebar harum.
Tapi! Sejak ayah meninggal, aku gugat ke-MahaAdil-an
Tuhan! Mamaku jatuh sakit. Tak lama berselang dia juga meninggal.
Kuliah kakak-kakakku jadi berantakan. Kami menjadi fakir miskin.
Akibatnya, hidup kami serba susah. Segala lini kehidupan menjadi momok
bagiku. Waktu berlalu pasti, menumpuk penderitaan dari hari ke hari.
Saya
ingin tetap ber-Tuhan. Meski prasangka-prasangka buruk saya sandangkan
kepada-Nya. Saya tetap melaksanakan shalat. Meski terpaksa melakukannya.
Saya juga tetap berpuasa pada bulan Ramadhan. Meski terasa berat. Saya
tetap membaca ayat-ayat Al-Quran. Meski jarang-jarang, tak seperti dulu
ketika ayah dan Mama masih hidup.
Itu
semua saya lakukan karena hanya mau menghormati mendiang mama. Karena
saya yakin, mama orang yang cerdas dan bijak jauh melampaui saya. Tentu
mama punya maksud dan rencana terbaik buat saya, saat mama mengenalkan
Tuhan dan mengajari shalat serta puasa. Saat mama tak pernah kehabisan
ide, selalu berinovasi untuk membekali saya dengan dongeng para kekasih
Allah Swt saat menjelang tidur malam. Saat menjelang dewasa, saya
bertanya, “Ma, apa yang membuat mama mau melakukan itu semua? Saat aku
kecil, selalu mama berada di sampingku, melayani aku dan aku benar-benar
menjadi raja di rumah.” Jawaban mama singkat, “Karena mama punya Tuhan,
Allah Swt.”
Itu
yang mendorong saya untuk terus mencari alasan kuat; mengapa saya harus
tetap ber-Tuhan. Saya kunjungi perpustakaan. Bekerja apa saja untuk
bisa sekedar membeli buku. Menghadiri tempat-tempat diskusi. Bertanya
kepada guru-guru. Berharap bertemu Tuhan Yang Baik, Adil dan selalu
berpihak kepada hamba-Nya.
Tapi,
banyak buku saya jumpai aksaranya palsu belaka. Banyak guru membuat
saya semakin buta aksara. Banyak teman diskusi membuat saya mual dan
ling lung. Tapi, saya masih mencari alasan mengapa saya tetap ber-Tuhan.
Kemudian saya bertemu Murtadha Muthahari[1]
(dalam bentuk tulisan). “Dalam hukum berpikir,” katanya. “Pemahamanmu
tentang ke-MahaAdil-an Tuhan disebut falasi. Sesat pikir.”
Ungkapan
Murtadha Muthahari itu menampar-nampar muka saya. Falasi; kata ini
indah untuk diucap. Merdu di telinga. Tapi buruk di mata para bijak dan
mengecewakan para komposer orkestra.
Ditulis oleh : Republik Anarki
0 Komentar